Jakarta – Kasus hukum yang menjerat Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, telah memasuki babak baru yang sarat dengan kontroversi dan perdebatan sengit antara pihak kepolisian dan tim kuasa hukumnya. Delpedro telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polda Metro Jaya atas dugaan penghasutan yang terkait dengan serangkaian demonstrasi yang terjadi di Jakarta pada akhir Agustus. Kepolisian mendasarkan penetapan tersangka ini pada bukti digital dan keterangan awal saksi, sementara tim kuasa hukum Delpedro dengan tegas menilai proses yang dijalankan oleh aparat penuh dengan kejanggalan. Polemik semakin memanas setelah penggeledahan dilakukan di rumah dan kantor Lokataru, dimana sejumlah buku dan dokumen riset turut disita, menimbulkan pertanyaan besar mengenai relevansi barang sitaan dengan tuduhan yang disangkakan. Situasi ini menyoroti gesekan yang terjadi antara penegakan hukum dan potensi pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.


"Benar, telah dilakukan penahanan. Enam orang tersangka yang pernah disampaikan inisialnya kemarin," ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan Detik.Com (4/9/2025). Ia ditangkap bersama dengan 5 orang lainnya. “Delpedro Marhaen Rismansyah (DMR), MS, SH, KA, RAP, dan FL. Peran mereka membuat hasutan hingga tutorial membuat bom molotov” pungkasnya.


Menurut versi kepolisian, Delpedro disangkakan dengan beberapa ketentuan pidana serius. Pasal-pasal tersebut meliputi Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 45A ayat (3) jo Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE, serta Pasal 76H jo Pasal 15 jo Pasal 87 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kepolisian mendalilkan bahwa ada ajakan dari unggahan media sosial milik Delpedro yang memicu tindakan melawan hukum dan menyebabkan keresahan di masyarakat. Selain itu, mereka juga menyoroti adanya keterlibatan anak di bawah umur dalam aksi demonstrasi, yang menjadi dasar kuat bagi penerapan pasal perlindungan anak. Pihak Polda Metro Jaya menekankan bahwa semua alat bukti elektronik dan keterangan awal yang berhasil mereka kumpulkan telah cukup untuk mendukung sangkaan tersebut. Mereka juga menegaskan bahwa seluruh proses penahanan dan penyidikan dilakukan sesuai dengan KUHAP, dan hak-hak tersangka, termasuk akses terhadap bantuan hukum, telah dipenuhi.


Di sisi lain, tim kuasa hukum Delpedro menyajikan kronologi yang sangat berbeda dan penuh dengan keberatan. Mereka menyatakan bahwa penangkapan Delpedro terjadi pada Senin malam, (01/09/2025), di kantor Lokataru oleh sejumlah orang berpakaian sipil yang mengaku sebagai polisi. Menurut rekan-rekan Delpedro, klien mereka sempat meminta didampingi oleh kuasa hukum namun permintaan tersebut tidak dipenuhi dan ia langsung dibawa ke Polda Metro Jaya. Kejanggalan lain muncul saat penggeledahan pada Kamis, (04/09/2025). Polisi menyita spanduk, dokumen riset, perangkat elektronik, dan sejumlah buku milik Delpedro yang relevansinya dengan kasus dipertanyakan oleh tim advokasi. Tim pembela menilai penyitaan buku berpotensi menciptakan kesan adanya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi.


Lokataru kemudian memberikan keterangan "Saat melakukan aksi tersebut, petugas juga memasuki lantai dua kantor secara tidak sopan dan melakukan penggeledahan, serta merusak dan menonaktifkan CCTV kantor yang berpotensi menghilangkan bukti dan menimbulkan kerugian hukum," 


Fakta yang lebih unik dan mencengangkan muncul dari keterangan tim advokasi, yaitu petugas sempat hendak menyita barang-barang pribadi yang tidak relevan seperti pakaian dalam dan deodoran. Meskipun pada akhirnya barang-barang tersebut tidak jadi disita setelah diprotes, tim advokasi mencatat adanya kartu identitas non-krusial seperti kartu BPJS dan KRL yang juga masuk dalam daftar penyitaan. Pola ini menunjukkan bahwa penggeledahan dilakukan secara "serampangan" dan tidak proporsional dengan kebutuhan pembuktian, demikian klaim tim pembela. Secara materiil, pasal yang dikenakan juga dipersoalkan oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD). Mereka menilai penerapan Pasal 160 KUHP tidak tepat karena unsur "menghasut melakukan tindak pidana" harus dibuktikan secara ketat, termasuk adanya hubungan sebab-akibat yang jelas antara unggahan dan tindakan di lapangan. Oleh karena itu, tim advokasi berencana untuk menempuh jalur praperadilan guna menguji legalitas penangkapan, penetapan tersangka, hingga penyitaan barang bukti yang mereka anggap cacat prosedur.


Pendiri Lokataru, Haris Azhar, mengkritik penangkapan rekannya dengan menyebut langkah polisi itu berlebihan. Ia menegaskan bahwa unggahan Lokataru di media sosial sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasut ataupun mendorong keterlibatan pelajar dalam aksi demonstrasi yang kemudian berujung ricuh. “Unggahan itu hanyalah bentuk ekspresi, bukan ajakan untuk menghasut,” ujar Haris kepada BBC News Indonesia. Ia juga mempertanyakan relevansi antara unggahan tersebut dengan keterlibatan anak di bawah umur dalam aksi massa. Menurut Haris, justru Lokataru selama ini memberikan bantuan hukum kepada para pelajar yang ditangkap aparat usai demonstrasi akhir Agustus. Karena itu, Haris menilai penangkapan Delpedro lebih tepat disebut sebagai bentuk “pengambinghitaman” ketimbang langkah penegakan hukum yang objektif.


Menanggapi polemik yang berkembang, pemerintah melalui Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, meminta agar pihak Delpedro menghadapi proses hukum secara adil sesuai prosedur. “Perlawanan Anda harus gentleman. Anda hadapi polisi di jalur hukum. Anda adu argumen dengan polisi, penyidik, dan jaksa. Hadapi di pengadilan,” kata Yusril kepada ANTARA News. “Masalahnya, polisi menganggap penangkapan yang mereka lakukan sudah sesuai koridor hukum. Karena ada beda pendapat dengan polisi itulah, maka Anda harus lakukan perlawanan. Rakyat akan menilai, argumen skala yang lebih kokoh dan lebih meyakinkan; argumen Anda dan tersangka yang Anda bela atau argumen penegak hukum polisi, penyidik, dan jaksa?” pungkasnya.

Yusril menegaskan bahwa keberatan atas prosedur dapat diuji melalui mekanisme praperadilan dan peradilan yang telah tersedia. Ia juga menambahkan bahwa penegakan hukum yang dilakukan sesuai dengan koridornya tidak serta-merta melanggar hak asasi manusia. Pernyataan ini menunjukkan sikap pemerintah yang mendorong penyelesaian kasus melalui jalur hukum yang berlaku. Sementara itu, pihak kepolisian tetap mengeklaim telah bekerja sesuai dengan aturan dan menampung hak-hak tersangka. Mereka juga menyebut bahwa daftar barang sitaan akan diaudit melalui gelar perkara dan dapat diuji di pengadilan. Publik diminta untuk menunggu hasil penyidikan, termasuk analisis forensik digital atas unggahan yang diduga menghasut.


Hingga saat ini, dua narasi utama berjalan beriringan dan saling bertentangan secara tajam. Satu narasi datang dari kepolisian yang menilai adanya ajakan melawan hukum dan pelibatan anak dalam demonstrasi, yang dibuktikan dengan bukti digital. Di sisi lain, narasi dari tim pembela Delpedro memandang penindakan ini sebagai tindakan yang berlebihan, yang berpotensi menyasar kebebasan berekspresi dan memiliki cacat prosedur yang signifikan. Langkah hukum selanjutnya yakni penangguhan penahanan telah diajukan oleh tim Delpedro pada hari Sabtu (06/09/2025). Sembari menunggu putusan berkekuatan hukum tetap, asas praduga tak bersalah tetap melekat pada Delpedro, memberikan ruang bagi proses peradilan untuk membuktikan kebenaran di tengah dua sudut pandang yang berbeda ini.


Penulis: Almerdo Agsa Soroinama Hia

Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing