
Sumber: seputarbirokrasi.com
Apakah Penetapan Tersangka Korupsi Harus Ada Penetapan Kerugian Negara Dari BPK?
Penetapan tersangka dalam perkara korupsi merupakan momen krusial yang menentukan jalannya proses penegakan hukum. Secara ideal, penetapan ini harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup—sebuah tahap di mana penyidik perlu memastikan bahwa indikasi keterlibatan seseorang dalam tindak pidana korupsi telah layak ditingkatkan menjadi status tersangka. Namun dalam praktik, aparat penegak hukum sering kali menunggu hasil penetapan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai dasar materiil untuk menguatkan dugaan kerugian keuangan negara. Pertanyaannya, apakah menunggu laporan BPK mutlak diperlukan sebelum menaikkan status seseorang menjadi tersangka? Simak selengkapnya dalam penjelasan berikut!
Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut, Pasal 3 juga mengatur bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dapat dikatakan pula sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Berdasarkan kedua pasal diatas, dapat diketahui bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik materiil. Delik materiil sendiri adalah jenis tindak pidana yang dianggap selesai ketika akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang telah terjadi. Dengan kata lain, delik materiil menitikberatkan pada akibat dari suatu perbuatan, bukan hanya pada perbuatan itu sendiri.
Kewenangan BPK dalam Penetapan Kerugian Negara
Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, dapat diketahui terdapat unsur “merugikan keuangan negara”. Adapun yang dimaksud kerugian keuangan negara adalah sebagaimana Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang berbunyi “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Merujuk pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, bahwa yang berwenang untuk menghitung, menilai dan/atau menetapkan kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Kemudian, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yakni dalam rumusan keenam kamar hukum pidana menyatakan, bahwa “Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara”. Maka dari itu, semakin jelas bahwa yang berwenang menetapkan kerugian keuangan negara adalah BPK.
Polemik Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi
Penetapan status tersangka terhadap seseorang memiliki kaitan yang erat dengan perlindungan atas hak untuk hidup dengan layak dan tenang, serta menyangkut hak asasi manusia, tak terkecuali dalam penetapan tersangka tindak pidana korupsi. Menurut Pasal 1 angka 14 KUHAP, tersangka adalah individu yang, karena perbuatannya atau situasi tertentu, berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup, diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Berdasarkan yang tertuang di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah terdiri dari:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa
Salah satu kasus yang menimbulkan polemik di antara para pakar hukum dan praktisi hukum adalah penetapan status tersangka pada saudara Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong). Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong atas kasus korupsi Impor Gula pada saat ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan, tepatnya pada 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016.
Polemik dalam penetapan Tom Lembong sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh Kejagung adalah penetapan tersangka dilakukan tanpa adanya penetapan kerugian keuangan negara dari BPK sebagai lembaga yang berwenang. Hal inilah yang menimbulkan memicu perdebatan diantara pakar hukum dan praktisi hukum.
Kejagung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar dalam keterangan resmi menyatakan bahwa “Penetapan tersangka terhadap Thomas Lembong yang dilakukan oleh Kejagung telah berdasar hukum dan sah menurut hukum karena sudah sesuai prosedur.” Lebih lanjut Harli juga menuturkan bahwa penetapan tersangka Tom Lembong dalam kasus impor gula telah memenuhi 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP berupa keterangan 29 saksi dan tiga ahli hingga penyitaan barang bukti dalam proses penyidikan.
Meskipun begitu, para pakar hukum mempertanyakan alasan penetapan Tom Lembong tanpa adanya penetapan kerugian keuangan negara dari BPK. Ari Yusuf Amir yang merupakan kuasa hukum Tom Lembong menuturkan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka cacat hukum akibat tidak adanya hasil audit BPK, yang berarti tidak ada bukti bahwa Tom Lembong telah merugikan keuangan negara sebagaimana yang dituduhkan Kejagung kepada Tom Lembong.
Apabila merujuk pada Konsideran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, menyatakan bahwa “unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi”. Kemudian, Mahkamah juga menyatakan, bahwa “Berdasarkan ketentuan tersebut konsepsi kerugian negara yang dianut adalah konsepsi kerugian negara dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual.”
Atas dasar itulah, tim kuasa hukum Tom Lembong mengajukan Pra-peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Namun, permohonan Pra-peradilan tersebut ditolak sepenuhnya oleh Hakim Pra-peradilan. Menurut Tumpanuli Marbun selaku hakim tunggal Pra-peradilan, termohon (kejaksaan) telah berhasil mengumpulkaan 2 (dua) alat bukti yang sah pada saat menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka tindak pidana korupsi pada kasus impor gula. Tak hanya itu, Tumpanuli Marbun juga menyatakan, bahwa dalam menghitung kerugian keuangan negara, tidak diwajibkan terlebih dahulu menyertakan perhitungan resmi yang bersifat final dari suatu lembaga tertentu. Cukup dipastikan adanya kerugian riil (actual loss) yang dapat diukur. Ketepatan angka kerugian tersebut akan ditetapkan oleh majelis hakim dalam persidangan pokok perkara. Dengan demikian, perhitungan awal oleh ahli berfungsi sebagai alat bukti di muka pengadilan, dan besaran kerugian negara masih dapat disesuaikan berdasarkan bukti-bukti tambahan yang diajukan selama proses persidangan.
Center for Leadership and Law Development Studies Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (CLDS FH UII) dalam Sidang Eksaminasi Putusan Pra-peradilan Tom Lembong menyatakan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka dilandasi dugaan kerugian negara sebesar Rp 400 miliar, namun tidak pernah disertai hasil audit formal dari lembaga berwenang yang membuktikan besaran tersebut secara pasti. Sebagai delik materiil, kepastian jumlah kerugian merupakan unsur esensial yang wajib sudah ada sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Tanpa audit final atau dokumen resmi yang menghitung kerugian, tidak terpenuhi bukti awal (prima facie) untuk mengaitkan Lembong dengan konsekuensi logis tindak pidana korupsi yang disangkakan.
Berdasarkan kasus diatas, kita dapat melihat bahwa titik permasalahannya terdapat pada terpenuhinya semua unsur tindak pidana. Apabila kita melihat permasalahan a quo secara tekstual, maka penetapan seseorang menjadi tersangka jika mengacu pada ketentuan yang ada dalam Pasal 184 KUHAP, sejatinya tidaklah harus terpenuhi seluruh unsur tindak pidananya, termasuk dalam hal penetapan tindak pidana. Meskipun demikian, reformulasi regulasi diperlukan untuk memberikan transparansi dan kepastian hukum terkait penetapan tindak pidana korupsi. Hal ini penting mengingat unsur "merugikan keuangan negara" sangat krusial dalam menentukan seseorang dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang mana ketika unsur tersebut tidak terpenuhi maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Demikian artikel mengenai Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Penetapan tersangka dalam perkara korupsi menimbulkan polemik hukum, terutama terkait perlunya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai dasar untuk membuktikan kerugian negara dalam delik materiil korupsi. Meskipun penetapan tersangka cukup didasarkan pada dua alat bukti sah menurut KUHAP, seperti dalam kasus Tom Lembong, sejumlah pakar hukum menilai penetapan tersebut cacat hukum karena tidak disertai audit resmi BPK. Di sisi lain, hakim pra-peradilan berpendapat bahwa penetapan tersangka sah selama ada kerugian nyata yang dapat diukur, meski belum dihitung secara final oleh BPK. Polemik ini mencerminkan pentingnya reformulasi aturan demi kepastian dan keadilan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Referensi
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 31 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 140, TLN No. 3874.
Undang-Undang Tentang Perbendaharaan Negara. UU Nomor 1 Tahun 2004. LN Tahun 2004 No. 5, TLN No. 4355.
Undang-Undang Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. UU Nomor 15 Tahun 2006. LN Tahun 2006 No. 85, TLN No. 4654.
Surat Edaran Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. SE Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016.
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 25/PUU-XIV/2016. Firdaus dkk. (Pemohon). 201
Artikel Webpage
Detikcom, Tim. “4 Pertimbangan Hakim Nyatakan Tom Lembong Sah Jadi Tersangka.” detikNews. 27 November 2024. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-7658509/4-pertimbangan-hakim-nyatakan-tom-lembong-sah-jadi-tersangka. Diakses pada 27 Juni 2025.
HukumID, Redaksi. “Tim Eksaminasi CLDS FH UII Penetapan Tom Lembong Sebagai Tersangka Tidak Sah dan Melawan Hukum.” HukumID. 16 Desember 2024. Tersedia pada https://hukumid.co.id/tim-eksaminasi-clds-fh-uii-penetapan-tom-lembong-sebagai-tersangka-tidak-sah-dan-melawan-hukum/. Diakses pada 27 Juni 2025.
Nugraha, Muhammad Raihan. “Apa Perbedaan Delik Formil dan Delik Materil?” Hukumonline. 7 Agustus 2024. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/apa-perbedaan-delik-formil-dan-delik-materil-lt569f12361488b/. Diakses pada 27 Juni 2025.
Rizki, Mochamad Januar. “5 Alasan Penetapan Tersangka dan Penahanan Tom Lembong Dianggap Tidak Sah.” Hukumonline. 5 November 2024. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/5-alasan-penetapan-tersangka-dan-penahanan-tom-lembong-dianggap-tidak-sah-lt6729ab3473bc0/. Diakses pada 27 Juni 2025.
Wahyuni, Willa. “Tata Cara Penetapan Tersangka.” Hukumonline. 2022. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/tata-cara-penetapan-tersangka-lt62a6f769cd4de/. Diakses pada 27 Juni 2025.
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Dosen PNS boleh Menjadi Advokat: Apa Kabar Nasib T...
30 April 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Ketua Koperasi Pesantren Jadi Tersangka Tragedi Lo...
01 June 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Polisi Mengamankan Demo Dengan Kekerasan? Apakah B...
27 April 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →