
Sumber: Dodi Rosadi
Resensi Buku "Max Havelaar"
A. Identitas Buku
- Judul Buku : Max Havelaar
- Pengarang : Multatuli (Eduard Douwes Dekker)
- Penerbit : Qanita
- Tahun Terbit : Juni 2014
- Jumlah Halaman : 396 halaman
- Nomor ISBN : 978-602-1637-45-6
B. Sinopsis
Buku Max Havelaar, atau lengkapnya Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handels-Maatschappij (Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda), adalah novel klasik yang ditulis oleh Multatuli (nama pena Eduard Douwes Dekker) pada tahun 1860.
Novel ini mengisahkan tentang Max Havelaar, seorang asisten residen idealis yang ditugaskan di Lebak, Banten (saat itu bagian dari Hindia Belanda). Havelaar berjuang melawan korupsi dan penindasan yang dilakukan oleh para kepala daerah pribumi yang berkolaborasi dengan sistem kolonial Belanda, yang secara tidak langsung justru mendukung eksploitasi rakyat jelata demi keuntungan pribadi dan negara penjajah. Ia mencoba membela keadilan bagi rakyat kecil yang tertindas, namun usahanya selalu dihalangi oleh birokrasi kolonial yang acuh tak acuh dan lebih mementingkan keuntungan finansial.
Narasi Max Havelaar disajikan dari berbagai sudut pandang yang unik. Cerita dibuka melalui Droogstoppel, seorang makelar kopi kaya di Amsterdam yang materialistis dan hanya peduli pada keuntungan. Ia menerima naskah dari Sjaalman, seorang mantan rekan bisnisnya yang kini miskin, dan berniat mengubahnya menjadi sebuah risalah dagang yang kering. Namun, Stern, murid Droogstoppel, yang akhirnya menulis sebagian besar kisah tentang Max Havelaar dengan lebih simpatik. Melalui sudut pandang-sudut pandang yang kontras ini, Multatuli tidak hanya menceritakan perjuangan Havelaar tetapi juga mengkritik mentalitas kolonial yang mengabaikan penderitaan manusia demi keuntungan.
C. Kelebihan dan Kekurangan Buku
Buku Max Havelaar punya banyak kekuatan yang membuatnya jadi karya penting. Salah satu kelebihannya yang paling menonjol adalah keberaniannya dalam membongkar kebobrokan sistem kolonialisme. Sang Penulis (Multatuli) dengan sangat gamblang menunjukkan bagaimana pemerintah Belanda dan para pejabat pribumi bekerja sama menindas rakyat demi keuntungan kopi. Ini bukan cuma cerita fiksi, tapi juga semacam laporan jurnalistik yang jujur tentang penderitaan orang-orang di tanah jajahan.
Selain itu, gaya penulisannya juga sangat menarik karena menggunakan berbagai sudut pandang. Kita diajak melihat cerita dari kacamata Droogstoppel yang serakah, Stern yang mulai tercerahkan, Sjaalman yang terpinggirkan, dan tentu saja Max Havelaar yang idealis. Cara ini membuat ceritanya jadi lebih kaya dan kita bisa memahami kompleksitas masalah dari berbagai sisi. Buku ini juga punya dampak sosial yang besar di masanya, karena berhasil menggugah kesadaran masyarakat Belanda tentang kekejaman di Hindia Belanda, bahkan sampai memicu perubahan politik di kemudian hari.
Meskipun memiliki banyak kekuatan, buku Max Havelaar juga punya beberapa kekurangan. Salah satunya adalah struktur ceritanya yang agak tidak biasa atau bercabang-cabang. Pergantian sudut pandang antara Droogstoppel, Stern, Sjaalman, dan Havelaar bisa membuat beberapa pembaca sedikit bingung atau kesulitan mengikuti alur utama, terutama di awal. Terkadang, Multatuli juga menyelipkan opini atau kritiknya secara langsung, yang meskipun penting, bisa terasa sedikit mendikte atau terlalu menggurui bagi sebagian pembaca.
Kekurangan lainnya adalah bahwa cerita ini berfokus pada perjuangan individu Havelaar yang idealis, tapi mungkin tidak terlalu dalam membahas secara detail tentang suara atau perlawanan langsung dari rakyat pribumi yang ditindas. Penderitaan mereka digambarkan dengan jelas, tapi lebih banyak sebagai objek yang perlu diselamatkan oleh Havelaar, bukan sebagai pihak yang memiliki kekuatan atau inisiatif sendiri. Jadi, meskipun revolusioner di masanya, ada kritik yang menyebutkan buku ini masih punya keterbatasan perspektif kolonial dalam beberapa aspek.
D. Penilaian Penulis
Bagi pembaca yang memiliki ketertarikan mendalam pada sejarah kolonialisme, Max Havelaar bukan sekadar novel, melainkan sebuah artefak sejarah yang hidup. Multatuli berhasil menciptakan sebuah karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga berfungsi sebagai dokumen primer yang tak ternilai tentang kondisi Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19. Bagi Penulis, daya tarik utamanya terletak pada bagaimana Multatuli secara cerdas menyelipkan fakta-fakta kelam di balik narasi fiksi, mengungkap realitas sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang brutal.
Detail-detail yang disampaikan dalam buku ini, seperti bagaimana kopi diproduksi, sistem pemaksaan kerja, penindasan oleh bupati yang berkolaborasi dengan Belanda, hingga birokrasi kolonial yang korup dan acuh tak acuh, terasa sangat otentik. Kisah Saijah yang kehilangan kerbaunya dan kemiskinan ekstrem yang dialami rakyat Lebak bukanlah sekadar bualan, melainkan cerminan akurat dari laporan-laporan dan catatan sejarah yang bisa kita temukan.
Penggunaan berbagai sudut pandang dari Droogstoppel yang sinis dan materialistis hingga Havelaar yang idealis menjadi metode yang brilian untuk menunjukkan berbagai wajah kolonialisme. Droogstoppel mewakili mentalitas para pengusaha Belanda yang hanya melihat tanah jajahan sebagai sumber keuntungan tanpa peduli pada kemanusiaan. Ini adalah gambaran nyata tentang bagaimana motivasi ekonomi mendorong kebijakan yang menindas. Sementara itu, Havelaar adalah potret langka seorang pejabat yang mencoba melawan arus, sebuah pengecualian yang menunjukkan bahwa tidak semua individu dalam sistem kolonial buta hati.
Bagi Penulis, yang paling menarik adalah bagaimana buku ini menjadi "pembunuh" kolonialisme dalam ranah intelektual. Bukan dengan senjata, melainkan dengan kebenaran yang pahit. Fakta bahwa Max Havelaar memicu perdebatan sengit di Belanda dan mendorong munculnya Kebijakan Politik Etis membuktikan kekuatan sastra sebagai alat perubahan sosial yang dahsyat. Ini adalah pengingat bahwa di balik angka-angka statistik dan perjanjian politik, ada cerita-cerita manusia yang jauh lebih kuat dalam mengubah pandangan dunia.
Meskipun struktur ceritanya terkadang terasa meloncat-loncat dan kritik Multatuli disampaikan secara terang-terangan, justru hal ini yang menambah kekuatannya sebagai sebuah pernyataan protes yang kuat. Ini bukan sekadar novel, tapi seruan keras seorang saksi mata yang muak dengan ketidakadilan. Bagi Penulis, membaca Max Havelaar adalah seperti menemukan permata di antara tumpukan arsip sejarah, sebuah cerminan jujur yang terus relevan untuk memahami akar permasalahan kolonialisme dan dampaknya hingga hari ini
E. Kesimpulan dan Rekomendasi
Sebagai penikmat sejarah kolonialisme, Max Havelaar adalah buku yang wajib dibaca. Ia bukan sekadar novel, melainkan jendela yang terbuka lebar ke realitas pahit sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Multatuli dengan berani menggunakan fiksi untuk mengungkap fakta-fakta kejam yang sering tersembunyi di balik catatan resmi.
Dari cerita ini, kita bisa melihat bagaimana keserakahan ekonomi melahirkan penindasan, dan bagaimana perjuangan satu individu bisa mengguncang kesadaran sebuah bangsa. Buku ini berhasil menunjukkan kekuatan sastra dalam mendorong perubahan sosial dan moral, menjadi bukti bahwa kebenaran, sekecil apa pun, pada akhirnya akan menemukan jalannya.
Penulis sangat merekomendasikan Max Havelaar kepada siapa pun yang tertarik pada sejarah kolonialisme, terutama yang ingin memahami lebih dalam tentang latar belakang kebijakan Politik Etis dan dampaknya di Indonesia. Buku ini juga cocok bagi mereka yang ingin melihat bagaimana literatur dapat menjadi alat kritik sosial yang efektif.
Meskipun alurnya mungkin sedikit berbeda dari novel pada umumnya karena didasari atas berbagai sudut pandang, kesabaran dalam membacanya akan terbayar lunas dengan pemahaman yang mendalam tentang salah satu periode paling penting dalam sejarah Indonesia dan Belanda. Buku ini merupakan bacaan esensial untuk memahami bagaimana masa lalu membentuk masa kini.
Penulis: Michelle Stephanie Langelo
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Optimalisasi Kinerja Kemenkum: Pendaftaran Merek d...
19 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Benteng liar di Atas Tanah Negara: Markas Ormas Di...
25 May 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Retributive Justice vs Restorative Justice, Apa Be...
04 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →