Sumber: voi.id
Real Kelalaian atau Korupsi? Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Divonis 4,5 Tahun
Jakarta, Kunci Hukum - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat pejabat sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) periode 2019-2022. Keempat tersangka tersebut adalah Ira Puspadewi selaku Direktur Utama PT ASDP periode 2017-2024, Muhammad Yusuf Hadi yang menjabat sebagai Direktur Komersial dan Pelayanan periode 2019-2024, Harry Muhammad Adhi Caksono selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan periode 2020-2024, serta Adjie yang merupakan pemilik PT Jembatan Nusantara. Menurut dakwaan jaksa, ketiga petinggi ASDP tersebut diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.253.431.651.169 atau sekitar Rp 1,25 triliun.
Dilansir dari catatan KPK, penyidikan kasus ini dimulai sejak 11 Juli 2024, meskipun dugaan korupsi sudah terdeteksi sejak proses akuisisi berlangsung pada Maret 2022. Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengungkapkan bahwa kesalahan terjadi dalam prosesnya, di mana barang-barang yang dibeli dari PT JN kondisinya bukan baru.
"Untuk kegiatan (pengadaan) yang diajukan itu legal. Ini terjadi mulai terjadi kesalahannya itu adalah ketika prosesnya, jadi, barang-barang yang dibeli dari PT JN (Jembatan Nusantara) itu juga kondisinya bukan baru-baru," kata Asep. Kerugian keuangan negara tersebut terdiri dari nilai pembayaran saham akuisisi PT JN sebesar Rp 892 miliar, pembayaran 11 kapal afiliasi PT JN sebanyak Rp 380 miliar, serta nilai bersih yang dibayarkan ASDP kepada Adjie dan perusahaan afiliasi senilai Rp 1,272 triliun.
KPK menduga proses akuisisi perusahaan ini disamarkan melalui berbagai cara. Salah satu indikasinya adalah dokumen penilaian pemeriksaan kapal yang diduga sudah direkayasa. Menurut temuan KPK, penilaian dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) MBPRU sudah dimanipulasi agar mendekati nilai yang sudah ditentukan oleh Adjie dan telah diketahui serta disetujui oleh Direksi PT ASDP.
Para terdakwa juga diduga meneken perjanjian kerja sama pengoperasian kapal antara kedua perusahaan tersebut padahal belum ada persetujuan dari dewan komisaris. Perjanjian kerja sama itu juga diduga tidak mempertimbangkan risiko yang disusun oleh Vice President Manajemen Risiko dan Quality Assurance.
Modus operandi yang dilakukan para terdakwa, menurut jaksa penuntut umum, adalah dengan mengubah surat keputusan direksi untuk mempermudah pelaksanaan kerja sama usaha antara PT ASDP dan PT Jembatan Nusantara. Ketiga petinggi ASDP itu juga diduga tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT Jembatan Nusantara dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli.
Mereka dinilai mengkondisikan penilaian terhadap 53 kapal PT JN dan mengabaikan hasil uji tuntas teknik engineering due diligence PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) yang merekomendasikan untuk tidak mengakuisisi 9 kapal yang tidak layak. Atas perbuatannya, para terdakwa didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, terungkap sejumlah fakta menarik terkait hubungan antara direksi ASDP dengan pemilik PT Jembatan Nusantara. Wing Antariksa, mantan Direktur Sumber Daya Manusia PT ASDP, mengungkapkan adanya permintaan pungutan kepada anggota direksi oleh Ira Puspadewi untuk membeli emas sebagai ucapan terima kasih kepada Kementerian BUMN.
"Saat itu yang bersangkutan menyampaikan akan memberikan emas," ujar Wing saat menjawab pertanyaan jaksa mengenai bentuk ucapan terima kasih tersebut. Wing mengaku diminta mengumpulkan uang bersama direktur lainnya, dengan nominal sekitar Rp 50 juta sampai Rp 100 juta per orang untuk dibelikan emas.
Menanggapi kesaksian tersebut, Ira Puspadewi membantah adanya niat gratifikasi atau penyuapan. Dilansir dari keterangan Ira di persidangan pada Kamis, 24 Juli 2025, pemberian tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan simpati bagi seorang deputi yang saat itu sedang sakit keras, kanker.
"Maksud kami adalah menyampaikan simpati bagi seorang deputi yang saat itu sedang sakit keras, kanker," ujar Ira. Pengacara Ira, Soesilo Wibowo, menegaskan bahwa pemberian untuk pejabat Kementerian BUMN murni untuk kemanusiaan dan tidak ada hubungannya dengan kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara. "Saya kira karena waktu itu empati saja kepada orang yang waktu itu sakit," kata Soesilo.
Selain isu pengumpulan uang untuk pembelian emas, persidangan juga mengungkap adanya pemberian barang dari Adjie kepada beberapa pejabat ASDP. Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 11 September 2025, Adjie mengaku pernah memberikan kepiting dan durian musang king kepada Harry Muhammad Adhi Caksono.
Jaksa juga menanyakan tentang pengiriman tabung oksigen senilai Rp 9 juta kepada dua orang, termasuk Ira Puspadewi. "Kalau enggak salah saya kasih oksigen Pak, harga Rp 9 juta. Saya kasih dua, satu untuk ibu Ira," kata Adjie. Namun, Ira membantah keras tuduhan tersebut. "Saya tidak pernah menerima oksigen atau materi apa pun dari pemilik JN lama atau Pak Adjie dan afiliasinya," bantah Ira saat dimintai tanggapan oleh majelis hakim.
Persidangan juga menyoroti kejanggalan dalam hubungan antara direksi ASDP dengan Adjie. Christine Hutabarat, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2019-2020, menjadi saksi kunci dalam mengungkap kronologi perkenalan dengan pemilik PT JN. Dalam sidang pada Kamis, 7 Agustus 2025, Christine mengaku baru mengenal Adjie pada Maret 2019.
Namun, Ira Puspadewi menyanggah keras keterangan tersebut. "Saudara saksi, Ibu Christine, sudah mengenal Pak Adjie sejak beliau menjabat Corsec, 2010," kata Ira. Christine juga mengungkapkan adanya kunjungan ke rumah pribadi Adjie pada 22 Maret 2019 yang disebutnya sebagai kegiatan ramah tamah tanpa agenda khusus. "Itu sebagai ramah tamah," kata Christine, menambahkan bahwa dalam acara tersebut tidak ada pembicaraan khusus perihal kerja sama usaha.
Di sisi lain, keluarga terdakwa, khususnya Zaim Uchrowi yang merupakan suami Ira Puspadewi, secara tegas membela istrinya dengan menyatakan tidak ada korupsi sama sekali dalam kasus ini. Dilansir dari keterangan tertulis yang diterima media pada Rabu, 23 Juli 2025, Zaim bahkan bersumpah. "Demi Allah tidak ada korupsi sama sekali dalam akuisisi ini. Hidup kita tidak lama, semua akan mati, neraka dan surga pasti menanti," kata Zaim. Menurutnya, jaksa tidak mendakwa Ira, Yusuf, dan Harry melakukan korupsi untuk kepentingan pribadi, melainkan mendakwa mereka memperkaya pihak lain. "Buat apa Ira, Yusuf, dan Harry mengorbankan martabat, karier, dan nama baik sendiri demi memperkaya orang lain? Di dunia ini apakah ada orang yang seperti itu?" pertanyaanya.
Zaim menjelaskan bahwa langkah ketiga terdakwa dalam mengakuisisi PT Jembatan Nusantara bertujuan untuk membesarkan dan memperkuat ASDP agar mampu memperluas layanan bagi masyarakat di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Ia mengklaim bahwa kerja sama usaha tersebut berdampak positif terhadap kinerja ASDP.
Setelah mengakuisisi PT JN, pangsa pasar ASDP meningkat tajam menjadi 33,5 persen dan jumlah kapal komersial ASDP melonjak sekitar 70 persen, dari semula 73 unit menjadi 126 kapal. "Dengan akuisisi ini, ASDP pun kokoh menjadi perusahaan feri terbesar di dunia. Tak banyak BUMN bisa menjadi perusahaan terbesar di dunia di bidangnya seperti ASDP," tulis Zaim. Ia juga menyebutkan bahwa setelah akuisisi, ASDP meraih laba tertinggi sepanjang sejarah dan menjadi BUMN nonpublik penyumbang dividen terbesar ke-7.
Zaim mempertanyakan logika perhitungan kerugian negara yang dituduhkan kepada istrinya. Ia menyebut ada auditor yang tiba-tiba melahirkan angka rugi Rp 1,25 triliun, atau 98 persen dari nilai akuisisi Rp 1,27 triliun. "Dengan logika sederhana pun kita tahu angka kerugian negara itu dusta," kata dia.
Jika tuduhan itu benar, maka nilai PT JN seolah-olah hanya sekitar Rp 20 miliar, padahal JN masih beroperasi dan mampu menghasilkan pendapatan hingga Rp 600 miliar per tahun. "Tanpa bukti aliran dana korupsi menurut PPATK. Tanpa bukti kerugian negara menurut BPK atau BPKP. Apakah begitu cara memberantas korupsi?" tulis Zaim, mempertanyakan dasar penetapan tersangka terhadap istrinya.
Dalam pembelaannya di persidangan, Ira Puspadewi tampak emosional saat membacakan pledoi pribadi. Dilansir dari Antara, pada Kamis, 6 November 2025, Ira menangis saat menceritakan kondisi keterbatasan yang harus dihadapi keluarganya sejak ia kecil. "Kehidupan keluarga kami lebih sulit lagi begitu ayah meninggal. Ibu dan lima anaknya masih harus bersekolah, harus pindah dan menumpang di rumah kakak yang berdinas di TNI AL," kata Ira sambil menangis.
Dari foto yang terlampir dalam persidangan, terlihat Ira menulis surat dari rutan KPK berisi kronologi, bantahan, dan alasan mengapa keputusan akuisisi diambil, dengan menekankan bahwa keputusan yang dibuat untuk melayani masyarakat tidak boleh dikriminalisasi. Dalam suratnya, Ira menyatakan, "Mas Irwan yang baik, seorang kawan membawa print-out IG Mas. Harn setelah rasanya. Saya sudah dua tahunan ini mengikuti konten Mas Irwan. Alhamdulillah, terhubung sekarang walau sayangnya setelah saya ditahan."
Ira juga mengklaim bahwa tidak ada bukti korupsi yang ia lakukan dalam perkara ini dan menyebut surat dakwaan jaksa hanya framing jahat terhadapnya. "Kami bertiga difitnah seolah-olah membeli kapal-kapal tua dengan harga kemahalan. Padahal yang dibeli bukan kapal, namun 100% saham perusahaan yang memiliki going concern atau sedang beroperasi," ujarnya.
Ira mengatakan nilai kerugian keuangan negara yang tercantum dalam laporan penghitungan kerugian negara tertanggal 28 Mei 2025 bukan dari BPK RI atau BPKP, melainkan dari KPK yang baru selesai pada akhir Mei 2025 atau 3 bulan setelah penahanannya. "Perhitungan kerugian keuangan negara yang tidak benar itu dibuat oleh ahli akuntansi forensik dari internal KPK dengan menyandarkan pada hasil perhitungan dosen konstruksi perkapalan. Keduanya tidak memiliki kompetensi karena tidak memiliki sertifikat resmi sebagai penilai publik," tegasnya.
Pada Kamis, 30 Oktober 2025, jaksa penuntut umum menuntut Ira Puspadewi dengan hukuman 8 tahun 6 bulan penjara, sementara Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono masing-masing dituntut 8 tahun penjara. Jaksa juga menuntut Ira membayar denda Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana 4 bulan kurungan.
"Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan pertama," kata jaksa saat membacakan amar tuntutan.
Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis yang lebih ringan dari tuntutan jaksa. Dilansir Antara, pada Kamis, 20 November 2025, hakim ketua Sunoto menyatakan Ira Puspadewi divonis 4 tahun 6 bulan penjara, sementara Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono masing-masing dijatuhi pidana 4 tahun penjara. Majelis hakim juga menjatuhkan denda kepada Ira sebesar Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan, sedangkan Yusuf dan Harry masing-masing Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Hakim menilai perbuatan para terdakwa bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tetapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan itikad baik dalam prosedur serta tata kelola aksi korporasi ASDP. Sebagai hal yang meringankan, hakim menyebutkan bahwa para terdakwa berhasil memberikan warisan untuk ASDP, tidak terbukti menerima keuntungan finansial, memiliki tanggungan keluarga, serta terdapat beberapa aksi korporasi yang dapat dioperasikan untuk kepentingan publik.
Penulis: Rofi Nurrohmah
Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing
Baca Artikel Menarik Lainnya!
AI Masuk Kurikulum, Gibran Ingatkan yang Tak Pakai...
05 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Ragam Sistem Hukum Adat Di Indonesia: Struktur, Ni...
20 November 2025
Waktu Baca: 8 menit
Baca Selengkapnya →
Bantuan dari Langit, Beras Berceceran di Tanah: Wa...
04 December 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →