Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mendefinisikan pekerja sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Realitanya, seorang pekerja sering kali mengalami kendala saat melakukan pekerjaannya, salah satunya adalah mengalami sakit. Hal ini menjadi kondisi yang menjadi kendala bagi pekerja dalam menunaikan kewajibannya untuk bekerja, sehingga akan berpengaruh pula terhadap hak pekerja dalam menerima gaji. Di satu sisi, pekerja harus bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, pekerja tidak mampu bekerja karena keadaannya sedang sakit. Kondisi ini semakin rumit ketika sakit yang dialami berkepanjangan. Lalu, apakah pekerja yang mengalami sakit berkepanjangan hingga 1 tahun lamanya, masih berhak mendapatkan gaji? Yuk simak!


Prinsip No Work No Pay dan Pengecualiannya

Secara umum, prinsip no work, no pay diatur dalam Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa “Pengusaha tidak berkewajiban membayar upah apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan perjanjian kerja”. Namun, Pasal 93 ayat (2) huruf (a) UU Ketenagakerjaan memberikan pengecualian bagi pekerja yang tidak masuk bekerja karena sakit jika disertai surat keterangan dokter resmi, sehingga upah tetap harus dibayarkan dalam batas jangka waktu tertentu. Dengan demikian, selama sakit yang bersangkutan dibuktikan secara medis, pekerja tetap menikmati perlindungan upah meski tidak hadir di tempat kerja.


Skema Pembayaran Upah Saat Sakit Berkelanjutan

Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur tata cara dan besaran pembayaran upah apabila pekerja tidak masuk kerja karena sakit, sebagai berikut:

  1. Empat bulan pertama: 100% upah penuh, tanpa pemotongan. 
  2. Empat bulan kedua: 75% upah, atau dipotong 25% dari upah semula.
  3. Empat bulan ketiga: 50% upah, atau dipotong 50% dari upah semula.
  4. Bulan ke-13 dan seterusnya: 25% upah, atau dipotong 75% dari upah semula, sebelum PHK dapat diajukan.

Dalam hal ini, setiap pekerja biasanya diwajibkan memperbarui surat keterangan dokter setiap 4 (empat) bulan sekali. Skema ini bertujuan menyeimbangkan kepentingan pekerja yang sakit berkepanjangan dengan kelangsungan usaha pengusaha, sekaligus memberi ruang bagi pengusaha untuk mengambil tindakan hukum jika masa sakit melebihi batas aman. 


Batas Waktu dan Peluang PHK

Menurut Pasal 153 ayat (1) huruf (a) UU Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang melakukan PHK terhadap pekerja yang berhalangan masuk bekerja karena sakit berdasarkan keterangan dokter, selama masa sakit tersebut tidak melebihi 12 bulan secara terus-menerus.

Apabila masa sakit melampaui 12 bulan, maka baik pekerja maupun pengusaha dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja berdasarkan Pasal 172 UU No. 13/2003, dengan ketentuan bahwa pengusaha wajib membayar:

  1. Uang pesangon sebesar 2× ketentuan Pasal 156 ayat (2),
  2. Uang penghargaan masa kerja sebesar 2× ketentuan Pasal 156 ayat (3),
  3. Uang penggantian hak sebesar 1× ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Rumusan ini memastikan pekerja yang sakit kronis tetap memperoleh kompensasi ekonomi yang adil sebelum hubungan kerja benar-benar berakhir.

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pemberi kerja tetap harus membayarkan gaji pekerja meskipun ia mengalami sakit berkepanjangan hingga 1 tahun lamanya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku sebagaimana di atas. Hak pembayaran gaji tersebut juga diikuti hak untuk tidak di PHK sebagaimana yang telah dijamin oleh UU Ketenagakerjaan.  


Demikian artikel mengenai hak atas gaji bagi pekerja yang mengalami sakit, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


{{summary:0}}

Referensi

Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan. UU No. 13 Tahun 2003, LN Tahun 2003 No.39, TLN No.4279

Peraturan Pemerintah Tentang Pengupahan. PP No. 36 Tahun 2021, LN  Tahun 2021 No.46, TLN No. 6648