
Sumber: Fanny Mertyana
Resensi Buku "Laut Bercerita"
A. Identitas buku:
1.Judul buku : Laut Bercerita
2.Pengarang : Leila S. Chudori
3.Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
4.Tahun Terbit : Oktober 2017
5.Jumlah Halaman : 379 halaman
6.Nomor ISBN : 978-602-424-694-5
B. Sinopsis
“Kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya,” menjadi kalimat pembuka novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori yang sarat akan makna. Novel ini menelusuri penghilangan paksa aktivis Orde Baru, kisah nyata yang disulam dari pengalaman Nezar Patria. Dibagi dalam dua babak, cerita pertama mengisahkan Biru Laut, mahasiswa sastra Inggris yang terjerat dalam gelora perjuangan Winatra. Aksi Blangguan salah satunya yang diikuti oleh Laut. Bersama Kasih Kinanti, mereka menanam jagung sebagai simbol perlawanan yang entah bagaimana tak cukup untuk mengusir tentara yang ingin mengambil lahan masyarakat. Penangkapan dan penyiksaan brutal di Bungurasih menjadi bayang-bayang yang tak terelakkan, melukiskan wajah rezim yang tak hanya kejam tetapi juga sinis terhadap kemanusiaan.
Api semangat Laut yang hampir padam kembali menyala berkat Kinan, yang mengingatkan bahwa setiap langkah adalah bait puisi perjuangan yang tak pernah usai, meski kadang terasa seperti menulis puisi di tengah badai. Peristiwa Sabtu Kelabu menambah kelam kisah ini, di mana fitnah dan pemburuan menjadi alat rezim untuk menegakkan keadilan ala mereka. Babak kedua beralih pada sosok Asmara Jati, adik Laut, menjadi penggambaran kata wani yang berarti berani dalam makna seorang wanita. Di tengah kepedihan yang menggerogoti jiwa dan kewarasan keluarganya, ia mampu bangkit dan berani menelan pahitnya duka dan melangkah mencari kebenaran. Dari Pulau Seribu hingga aksi Kamisan di depan Istana, Asmara membuktikan bahwa suara mereka yang hilang akan tetap bergema.
C. Kelebihan dan Kekurangan Buku
Novel bergenre fiksi ini membawa tema tentang perjuangan, keadilan, persahabatan, dan romansa yang dibalut dengan gaya bahasa baku namun sarat dengan keindahan puitis, metafora mendalam dan sarkasme yang tajam. Leila S. Chudori tak segan menyelipkan kata-kata kasar nan frontal untuk menggambarkan kerasnya represifitas pada masa itu, sehingga pembaca merasakan betul getirnya perjuangan para aktivis.
Novel Laut Bercerita menggunakan alur maju mundur yang cukup kompleks, terlihat jelas dari setiap babnya, yang mengisahkan perjuangan Laut saat aktif dalam kelompok Winatra, serta masa-masa setelahnya ketika ia telah menjadi sosok yang berjuang dalam keheningan dan bayang-bayang penghilangan paksa yang silih berganti diceritakan.
Salah satu kekuatan utama novel ini terletak pada penggambaran karakter yang kuat, mendalam dan latar belakang yang kompleks. Sosok Biru Laut yang digambarkan sangat mencintai sastra menjadi latar belakang ia mengenal Winatra, memiliki semangat juang yang tinggi, berpendirian teguh, penyayang, berani dan pantang menyerah. Serta dari sosok Asmara Jati, adiknya, tampil sebagai sosok kuat yang siap menelan segala kepahitan, mewakili luka mendalam keluarga yang ditinggalkan, serta seberapa keras perjuangan yang mereka lakukan untuk mencari keadilan akan keluarga mereka yang dihilangkan.
Sosok Laut dan Asmara mampu menyalurkan perasaan sedih, frustasi dan kelamnya cerita kepada pembaca. Tak hanya tokoh utama yang dipoles sedemikian rupa, tokoh pendamping seperti Sunu, Alex, Daniel, Bram, dan Kinan juga memiliki latar belakang yang sulit dan kompleks. Keberagaman latar belakang pada setiap tokoh, menambah kekayaan cerita dan membuat cerita pada novel menjadi lebih hidup.
Selain penokohan yang kuat, novel ini memiliki alur cerita yang mendalam dan mendetail, yang tak hanya mengisahkan perjalanan pribadi para tokohnya, tetapi juga menyelami latar sejarah dan politik Indonesia pada masa Orde Baru. Leila S. Chudori dengan cermat menggambarkan bagaimana rezim mengekang kebebasan, menebar ketakutan melalui penghilangan paksa, dan penindasan terhadap aktivis yang berani bersuara. Melalui novel ini, pembaca diajak menyaksikan luka kolektif bangsa yang tersembunyi di balik tirai kekuasaan.
Dibalik gemerlap kelam yang menyelimuti kisah ini, tersimpan pula beberapa kekurangan yang tak bisa diabaikan. Salah satunya terletak pada alur maju-mundur yang berkelok-kelok dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pembaca. Meski setiap bab telah diberi judul dengan tahun yang menjadi saksi latar cerita, kilas balik dan pesan-pesan yang disampaikan oleh Laut tetap mengalir dalam novel ini. Walau demikian, bagi pembaca yang sabar dan teliti, alur ini dapat mengajak pembaca menyelami lapisan-lapisan kenangan dan harapan yang disampaikan oleh para tokoh, sekaligus menantang kesabaran dan kepekaan untuk menangkap setiap pesan tersirat yang ingin penulis sampaikan.
D. Penilaian Penulis
Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori merupakan sebuah karya Masterpiece yang mampu menggambarkan masa kelam Orde Baru secara mendetail. Novel ini bukan sekadar menyajikan kisah sejarah, melainkan menyuarakan luka dan keberanian yang selama ini jarang tersentuh dalam buku-buku pelajaran di bangku sekolah. Puisi dan sajak yang tersebar di sepanjang cerita menjadi suara hati yang mengalirkan semangat perjuangan kepada pembaca, mengajak merasakan betapa dalamnya kehilangan dan penderitaan yang menggerogoti jiwa keluarga yang ditinggalkan, sekaligus harapan yang tak pernah padam.
Potongan bait puisi “matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali,” menjadi ruh yang menghidupkan seluruh isi novel ini. Bait puisi tersebut mengantarkan semangat, keberanian serta perjuangan kepada pembaca, menyadarkan pembaca akan pentingnya demokrasi, kebebasan berpendapat dan bersuara, yang merupakan hal yang selama ini diidam-idamkan oleh Laut, sebuah Indonesia yang berbeda.
Novel ini memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pembaca. Ia membangkitkan empati dan kesadaran akan ketidakadilan yang dialami para aktivis dan keluarganya, sekaligus menimbulkan kemarahan terhadap kebijakan diskriminatif, Bersih Diri, Bersih Lingkungan yang menjerat dalam pengucilan dan bayang-bayang stigma yang tak kunjung pudar.
Melalui novel Laut Bercerita, pembaca dihadapkan pada cermin buram bagi wajah penegakan hukum di Indonesia. Melalui penggambaran penghilangan paksa dan represi negara yang begitu nyata, Leila S. Chudori mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Tidak hanya menjelaskan alasan di balik aksi Kamisan di depan Istana Negara, novel ini juga membawa pembaca menyusuri pusara duka dan trauma yang tak pernah pudar oleh waktu.
Pada akhir novel Laut Bercerita disebutkan, “Aksi Payung Hitam setiap hari Kamis bukan sekadar gugatan, tetapi sekaligus sebuah terapi bagi kami dan warga negara ini; sebuah peringatan bahwa kami tak akan membiarkan sebuah tindakan kekejian dibiarkan lewat tanpa hukuman. Payung Hitam akan terus-menerus berdiri di depan istana negara. Jika bukan presiden yang kini menjabat yang memberi perhatian, mungkin yang berikutnya, atau berikutnya.” Kutipan ini dapat menjadi gambaran mengenai harapan bagi para keluarga yang ditinggalkan bahwa suatu hari mungkin mereka akan mendapatkan titik terang akan keberadaan anak, keponakan, kekasih maupun suami mereka.
Seperti semboyan terkenal yang digaungkan oleh Ir. Soekarno, Jas Merah. Melalui novel Laut Bercerita, pembaca diajak untuk merawat ingatan akan peristiwa penghilangan aktivis 1998. Bahwa hingga kini para orang tua yang semakin renta masih berdiri di depan Istana Negara untuk melakukan aksi Kamisan. Dengan pakaian serba hitam, berpaku di bawah payung hitam, mereka masih menanti jawaban mengenai dimana anak mereka dan bagaimana kondisinya.
Namun hingga kini telah 27 tahun berlalu, titik terang masih juga belum ditemukan. Harapan yang dulu menyala kini terkadang redup, namun tak pernah padam sepenuhnya. Tugas untuk mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia pada tahun 1998 menjadi tongkat estafet yang selalu dipindahkan dari tangan ke tangan tanpa pernah sampai pada garis akhir yang jelas. Setiap janji dan komitmen seolah menjadi gema yang hilang di antara bisu dan lupa, meninggalkan luka yang sudah menganga sedari lama dan keadilan bagi mereka yang tak kunjung tiba.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi
Laut Bercerita adalah sebuah karya yang wajib dibaca oleh siapa saja khususnya mahasiswa hukum, yang kelak akan menjadi penjaga keadilan dan penegak hukum bagi bangsa ini. Novel ini membuka hati dan pikiran, mengajarkan bahwa hukum bukan sekadar kumpulan norma dan aturan di atas kertas, melainkan denyut nadi yang mengikat seluruh aspek masyarakat.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa hak asasi manusia adalah fondasi utama sebuah bangsa yang bermartabat dan sebuah keberanian untuk melawan ketidakadilan adalah kewajiban moral yang harus diemban tanpa kenal lelah. Sejarah kelam ini bukan sekadar masa lalu, melainkan peringatan agar hukum dapat menjadi perisai yang lemah dan tertindas, bukan menjadi alat kekuasaan. Laut Bercerita mengajarkan bukan hanya wawasan, tapi juga jiwa yang berani memperjuangkan keadilan yang lahir dari empati dan komitmen.
Penulis: Fanny Mertyana
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Fleksibel Tapi Nggak Aman: Realita Gig Worker di I...
26 May 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →
Perseroan Terbatas yang Dibubarkan, Wajib Likuidas...
20 May 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →
Kenali Gugatan Class Action dalam Hukum Acara Perd...
17 June 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →