Sumber: www.mediajustitia.com
Kepastian atau Keadilan: Mana yang Menjadi Prioritas Hakim dalam Memutuskan Perkara?
Dilema antara kepastian hukum dan keadilan masih menjadi salah satu pembahasan yang menarik untuk dibahas hingga saat ini. Pertanyaan mendasar yang terus menelusuri praktik peradilan di Indonesia adalah: ketika dihadapkan pada situasi di mana kepastian hukum dan keadilan berbenturan, manakah yang seharusnya menjadi prioritas bagi seorang hakim? Pertanyaan ini bukan hanya sekadar pergumulan akademis, tetapi merupakan dilema praktis yang dihadapi oleh ribuan hakim di seluruh pengadilan Indonesia setiap hari ketika mereka menjalankan fungsi yudisialnya untuk memutus perkara.
Dilema Hakim Dalam Memutuskan Perkara
Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab yang kompleks dan beban moral yang tidak ringan. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman membebankan kewajiban kepada hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Namun, kewajiban ini tidak selalu mudah untuk dijalankan karena hakim juga dituntut untuk tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjaga kepastian hukum dalam sistem peradilan.
Dilema ini muncul ketika teks peraturan yang jelas dan tegas ternyata tidak menghasilkan rasa keadilan yang sesungguhnya ketika diterapkan pada kasus konkrit. Dalam situasi demikian, hakim dihadapkan pada pilihan yang sulit: apakah hakim harus tetap terikat secara kaku pada teks undang-undang demi menjaga kepastian hukum, atau hakim harus berani menafsirkan dan bahkan melampaui teks undang-undang untuk mencapai keadilan substantif?
Praktik peradilan di Indonesia menunjukkan bahwa masih banyak hakim yang cenderung mengutamakan kepastian hukum daripada keadilan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan hakim untuk memaknai hukum secara rigid dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Kebiasaan ini tercermin dalam putusan-putusan yang memberikan kepastian hukum namun tidak memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Sebaliknya, masih ada hakim yang berani keluar dari pakem konvensional dan mengutamakan keadilan substantif meskipun hal tersebut berisiko menimbulkan ketidakpastian dalam interpretasi hukum.
Permasalahan ini semakin kompleks ketika diperhatikan bahwa sistem peradilan Indonesia dibangun atas dasar prinsip kepastian hukum, dimana hakim seharusnya terikat pada ketentuan perundang-undangan. Namun, di sisi lain, sistem peradilan juga diharapkan mampu mewujudkan keadilan. Inilah benturan fundamental yang menciptakan dilema bagi setiap hakim dalam proses pengambilan putusan.
Memaknai Keadilan Dan Kepastian Hukum
Untuk memahami dilema ini dengan baik, terlebih dahulu perlu dipahami makna dari kedua konsep yang bertentangan tersebut: keadilan dan kepastian hukum. Masing-masing konsep memiliki arti yang mendalam dan implikasi yang berbeda bagi praktik peradilan.
1) Kepastian Hukum
Kepastian hukum dapat dipahami sebagai kejelasan norma yang tidak ambigu dan dapat diprediksi kehadirannya dalam sistem hukum. Kepastian hukum memberikan ketenangan dan arah kepada masyarakat dengan memastikan bahwa setiap orang memahami hak dan kewajiban mereka tanpa merasa digantung di ujung tombak kekuasaan. Kepastian hukum melindungi para pihak dari tipu daya, kekaburan, dan kesewenang-wenangan dalam penerapan hukum. Tanpa kepastian hukum, masyarakat akan kesulitan untuk berfungsi dan melakukan perencanaan hidup mereka karena tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dalam konteks peradilan kepastian hukum tercermin dalam kepatuhan terhadap asas legalitas dan dalam konsistensi putusan pengadilan. Kepastian hukum juga berarti bahwa putusan pengadilan harus dapat diprediksi karena didasarkan pada teks peraturan yang jelas dan logika penalaran hukum yang sistematis. Kepastian hukum memastikan bahwa hukum bukan merupakan alat yang dapat ditafsirkan sesuka hati, tetapi merupakan sistem yang terstruktur dan dapat dipercaya.
Namun, kepastian hukum yang dipahami sebagai kepatuhan mutlak terhadap teks undang-undang tanpa mempertimbangkan konteks dan dampak substantif dapat berubah menjadi alat penindasan. Hal ini pernah diingatkan oleh Gustav Radbruch setelah Perang Dunia II, ketika ia memperhatikan bagaimana hukum positif yang jelas dan pasti telah disalahgunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan kejam. Kepastian hukum yang absolut dapat menjadi ketidakadilan yang tertinggi, sebagaimana dinyatakan dalam adagium Latin klasik: Summum Ius, Summa Iniuria (kepastian hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi).
2) Keadilan
Keadilan, di sisi lain, merupakan konsep yang lebih luas dan kompleks daripada sekadar kepatuhan pada teks peraturan. Dalam filsafat hukum, keadilan sering dibedakan menjadi dua kategori: keadilan prosedural dan keadilan substantif. Keadilan prosedural berkaitan dengan terpenuhinya prosedur dan tata cara yang benar dalam penyelesaian perkara, sementara keadilan substantif berkaitan dengan rasa keadilan yang sesungguhnya dalam substansi putusan.
Keadilan substantif merupakan keadilan yang didasarkan pada moralitas publik dan nilai-nilai kemanusiaan yang mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepada para pencari keadilan. Keadilan substantif mempertimbangkan konteks sosial, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan dampak nyata dari putusan terhadap kehidupan masyarakat. Keadilan substantif tidak hanya melihat perkara dari perspektif normatif-prosedural, tetapi juga mempertimbangkan keseimbangan, kesetaraan, dan pemerataan hak dan kewajiban antar pihak.
Dalam konteks sistem peradilan Indonesia keadilan adalah wujud dan nilai yang menjunjung tinggi norma, keseimbangan, dan pemerataan. Keadilan dalam putusan hakim adalah suatu rasa hati nurani hakim untuk menjatuhkan putusan yang berkeadilan dengan berpedoman pada kepastian hukum yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dapat diterima oleh masyarakat.
Namun, mewujudkan keadilan itu sangat sulit. Seringkali apa yang adil menurut perspektif hakim belum tentu adil menurut perspektif terdakwa atau korban. Kesulitan ini muncul karena keadilan memiliki dimensi subjektif yang tergantung pada persepsi dan pengalaman masing-masing individu. Meskipun demikian, keadilan tetap menjadi tujuan utama dari peradilan, karena tanpa keadilan, hukum kehilangan makna dan legitimasinya di mata masyarakat.
Hubungan Dialektis Keduanya
Perlu dipahami bahwa keadilan dan kepastian hukum bukanlah konsep yang sepenuhnya bertentangan, melainkan memiliki hubungan yang dialektis dan saling melengkapi. Keadilan tanpa kepastian dapat melahirkan kekacauan, di mana setiap hakim menafsirkan keadilan sesuai dengan perspektif pribadi mereka, sehingga tidak ada standar yang konsisten dalam peradilan. Sebaliknya, kepastian tanpa keadilan dapat menjadi instrumen penindasan yang menggunakan teks hukum untuk membenarkan ketidakadilan.
Putusan hakim yang ideal harus mencerminkan ketiga unsur sekaligus: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Ketiganya harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu menerapkan ketiganya secara berimbang dan proporsional. Hukum harus tetap terikat pada struktur yang jelas dan dapat diprediksi untuk menjauhkan dari kesewenang-wenangan, namun kepastian itu harus lentur terhadap dinamika nilai dan kondisi sosial. Kepastian yang keras dan tidak adaptif adalah kepastian yang mematikan rasa keadilan
Benturan Kepastian Dan Keadilan Hukum Dalam Praktiknya
Benturan antara kepastian hukum dan keadilan dalam praktik peradilan Indonesia muncul ketika hakim menjalankan paradigma formalistik yang mengutamakan kepatuhan literal pada teks undang-undang tanpa mempertimbangkan dampak substantif dari putusan. Dalam banyak kasus, penerapan pasal undang-undang secara kaku telah menghasilkan putusan yang prosedural sempurna namun substansial tidak adil bagi pencari keadilan. Misalnya, dalam kasus-kasus pidana tertentu, penerapan minimal atau maksimal sentencing yang baku tanpa mempertimbangkan faktor kontekstual dalam kasus individu dapat menghasilkan putusan yang terasa tidak proporsional.
Paradigma formalistik yang mendominasi beberapa institusi peradilan mendorong hakim untuk menjadi sekadar corong undang-undang daripada penafsir aktif nilai-nilai keadilan, sehingga mengabaikan peran hakim sebagai living interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat.
Sebaliknya, ketika hakim berani menafsirkan hukum secara progresif untuk mencapai keadilan substantif, hal ini berisiko menimbulkan ketidakpastian dalam sistem hukum karena inkonsistensi putusan antarhakim. Hambatan struktural seperti sistem pembinaan hakim yang rigid, tekanan administratif, serta kurangnya akses terhadap literatur hukum progresif, memperkuat kecenderungan hakim memilih jalur yang lebih aman secara politik daripada jalur yang lebih adil secara substansial.
Meskipun KUHP Nasional Nomor 1 Tahun 2023 telah menetapkan melalui Pasal 53 bahwa keadilan harus diutamakan ketika terjadi pertentangan dengan kepastian hukum, tantangan implementasi tetap besar mengingat perubahan paradigma memerlukan transformasi budaya hukum yang mendalam di seluruh institusi peradilan.
Jadi, Mana Yang Lebih Diutamakan?
Pertanyaan mengenai prioritas antara kepastian hukum dan keadilan telah mendapatkan jawaban yang tegas melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional Nomor 1 Tahun 2023. Pasal 53 Ayat (1) dan (2) KUHP Nasional secara eksplisit menetapkan bahwa hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara wajib menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Lebih penting lagi, ketika hakim dihadapkan pada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Kehadiran ketentuan ini menandai pergeseran paradigma signifikan dalam sistem hukum pidana Indonesia, mengakui bahwa kepastian hukum bukan merupakan nilai tertinggi, melainkan harus dilengkapi dengan keadilan sebagai tujuan yang lebih fundamental dan harus diukur berdasarkan setimpal dengan perbuatan pidana yang dilakukan.
Implikasi praktis dari prioritas keadilan ini berarti hakim memiliki ruang legitimate untuk tidak selalu terikat secara kaku pada teks undang-undang jika teks tersebut tidak menghasilkan keadilan substantif. Hakim dituntut untuk mempertimbangkan dampak nyata dari putusan terhadap kehidupan pencari keadilan dan memastikan bahwa setiap putusan mencerminkan rasa keadilan masyarakat serta nilai-nilai Pancasila.
Namun, implementasi prioritas keadilan membawa tantangan kompleks, terutama dalam mendefinisikan apa yang adil dalam kasus konkrit ketika konsep keadilan bersifat subjektif dan dapat berbeda-beda. Diperlukan dialog berkelanjutan, pembelajaran dari putusan-putusan sebelumnya, serta pendidikan dan pelatihan intensif bagi hakim untuk mengimplementasikan keadilan substantif dengan baik tanpa mengorbankan kepastian hukum yang tetap diperlukan untuk menjaga stabilitas dan konsistensi dalam sistem peradilan.
Hukum Untuk Manusia, Bukan Sebaliknya!
Adagium klasik "hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum" yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, Bapak Hukum Progresif Indonesia, menjadi pengingat filosofis bahwa tujuan utama setiap sistem hukum adalah melayani manusia, melindungi, mengayomi, dan mensejahterakan manusia. Filosofi ini berakar pada pemahaman mendalam bahwa hukum bukanlah sekadar sekumpulan pasal teknis, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama dan memungkinkan manusia hidup dengan baik satu sama lain.
Pemikiran ini sejalan dengan tradisi filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas yang menempatkan hukum dalam konteks moral yang lebih luas, di mana hukum positif hanya memiliki validitas moral jika sejalan dengan prinsip-prinsip moral dasar dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks peradilan Indonesia, filosofi ini mengarahkan bahwa keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi prioritas utama dalam setiap putusan, karena kepastian hukum yang mengabaikan keadilan tidak memiliki legitimasi moral dan hanya akan menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Implementasi filosofi "hukum untuk manusia" mengharuskan rekonstruksi fundamental dalam peran dan paradigma hakim. Hakim harus keluar dari pemahaman sempit sebagai corong undang-undang dan berevolusi menjadi penafsir aktif nilai-nilai keadilan sosial yang memiliki integritas tinggi dan keberanian moral untuk mengambil putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, bahkan jika berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang.
Rekonstruksi ini juga memerlukan transformasi menyeluruh dalam pendidikan hukum, di mana kurikulum harus mengembangkan kemampuan bernalar moral, bukan hanya kemampuan teknis menerapkan pasal. Calon hakim perlu memahami bahwa setiap putusan memiliki dampak nyata terhadap kehidupan manusia dan merupakan kesempatan untuk mewujudkan keadilan atau sebaliknya melakukan ketidakadilan. Dengan demikian, filosofi "hukum untuk manusia" bukan hanya konsep akademis, tetapi prinsip fundamental yang harus mengarahkan setiap putusan pengadilan di Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan yang sejati dan bermartabat.
Kesimpulan
Dilema antara kepastian hukum dan keadilan dalam sistem peradilan Indonesia telah mendapatkan jawaban normatif melalui KUHP Nasional yang mengutamakan keadilan; namun tantangan implementasi tetap kompleks dan memerlukan transformasi paradigmatik menyeluruh, termasuk perubahan dalam pola pikir hakim, pendidikan hukum, dan struktur sistem peradilan. Filosofi "hukum untuk manusia" menjadi kompas yang harus mengarahkan setiap penegak hukum dalam memahami bahwa tujuan sejati dari sistem hukum adalah melayani kesejahteraan dan martabat manusia, bukan sebaliknya. Hanya melalui perubahan sistemik, pembinaan hakim yang berkelanjutan, dan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan Pancasila, maka keadilan substantif dapat benar-benar terwujud dalam praktik peradilan Indonesia.
Demikian artikel mengenai keadilan dan kepastian hukum, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Dilema antara kepastian hukum dan keadilan merupakan persoalan mendasar dalam praktik peradilan Indonesia, di mana hakim kerap dihadapkan pada pilihan antara kepatuhan kaku terhadap teks undang-undang atau keberanian menafsirkan hukum demi keadilan substantif. Kepastian hukum penting untuk menjaga konsistensi, prediktabilitas, dan mencegah kesewenang-wenangan, namun jika diterapkan secara absolut dapat melahirkan ketidakadilan, sebagaimana dikritik dalam doktrin hukum progresif. Sebaliknya, keadilan substantif menuntut hakim mempertimbangkan nilai kemanusiaan, konteks sosial, dan dampak nyata putusan, meskipun berisiko menimbulkan perbedaan penafsiran. Hubungan keduanya bersifat dialektis dan harus ditempatkan secara proporsional, namun melalui Pasal 53 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional, hukum positif Indonesia secara tegas mengarahkan hakim untuk mengutamakan keadilan ketika terjadi benturan dengan kepastian hukum. Prinsip “hukum untuk manusia” menegaskan bahwa legitimasi hukum terletak pada kemampuannya menghadirkan keadilan yang bermartabat, sehingga diperlukan transformasi paradigma hakim, pendidikan hukum, dan sistem peradilan agar keadilan substantif benar-benar terwujud tanpa mengabaikan kepastian hukum yang rasional.
REFERENSI
BUKU
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2006
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Nomor 48 Tahun 2009. LN Tahun 2009 No. 157. TLN No. 5076.
Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. UU Nomor 1 Tahun 2023. LN Tahun 2023 No. 1. TLN No. 6842.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Membedah Perbedaan MK, MA, dan KY: Tiga Pilar Lemb...
10 August 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →
Ini 2 Jenis Gugatan yang Anak Perdata Harus Tahu!
14 June 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Perlindungan bagi Korban Kekerasan Seksual Menggun...
13 May 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →