Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera mulai dari Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menimbulkan dampak kemanusiaan yang luar biasa sejak akhir November 2025. Dilansir dari The Guardian dan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban tewas terus meningkat tajam mencapai 753 jiwa hingga awal Desember. Sebanyak 463 orang masih dinyatakan hilang dalam operasi pencarian yang terus berlangsung, sementara sekitar 3,3 juta warga terdampak dan lebih dari satu juta orang telah dievakuasi dari wilayah berisiko tinggi.


Dilansir dari Tempo.co, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari merinci sebaran korban di tiga provinsi tersebut. Di Aceh tercatat 277 jiwa meninggal dengan 193 orang masih hilang, Sumatera Utara mencatat 299 korban tewas dan 159 orang hilang, sedangkan Sumatera Barat melaporkan 194 orang meninggal dan 111 orang belum ditemukan. Bencana ini dipicu oleh hujan monsun yang sangat intens disertai Siklon Tropis Senyar yang tidak hanya menghantam Indonesia tetapi juga Sri Lanka dan Thailand bagian selatan menyebabkan lebih dari 1.300 kematian secara regional di Asia.


Kerusakan infrastruktur yang ditimbulkan sangat masif. Ribuan rumah terendam dan roboh, puluhan ribu bangunan mengalami kerusakan berat, termasuk fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jembatan, serta jalan nasional yang menghubungkan antar-provinsi maupun antar-kabupaten. Dilansir dari Antara, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian menjelaskan, "Di sejumlah wilayah, akses transportasi terputus total sehingga bantuan logistik tidak dapat disalurkan." Situasi diperparah dengan kelangkaan bahan kebutuhan pokok, padamnya pasokan listrik, dan lumpuhnya jaringan komunikasi yang membuat penanganan darurat semakin terhambat.


Menghadapi keterbatasan kapasitas daerah, sejumlah kepala daerah secara resmi menyatakan ketidakmampuan menangani bencana. Dilansir dari Tempo.co, Bupati Aceh Tengah Haili Yoga bahkan mengirimkan Surat Pernyataan Nomor 360/3654BPBD/2025 pada 27 November 2025 yang menegaskan ketidakmampuan dalam melaksanakan upaya penanganan darurat bencana sebagaimana mestinya. Kondisi serupa terjadi di berbagai kabupaten lain yang APBD-nya tidak memadai untuk menghadapi bencana berskala besar ini.


Situasi kritis ini mendorong berbagai pihak mendesak pemerintah pusat untuk menetapkan status bencana nasional. Dilansir dari Tempo.co, Koalisi masyarakat sipil Aceh yang terdiri dari LBH Banda Aceh, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, dan Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia meminta Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status darurat bencana nasional. Gerakan Nurani Bangsa (GNB) yang dipimpin Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid juga mengirimkan surat resmi kepada presiden menyatakan bahwa kerusakan masif menuntut mobilisasi sumber daya nasional yang terpusat dan terintegrasi. "Sudah banyak kepala daerah yang sudah tidak mampu lagi mengatasi itu. Jadi tidak ada pilihan lain secara nasional ini harus digalang upaya yang segera, komprehensif dan menyeluruh," tegas Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.


Di sektor pendidikan, dampak bencana juga sangat mengkhawatirkan. Dilansir dari Tempo.co, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mendesak pemerintah menetapkan status darurat pendidikan karena mayoritas sekolah masih lumpuh. Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menyesalkan lambatnya respons pemerintah. "Kerusakan infrastruktur pendidikan sangat parah, APBD daerah jelas tidak akan mampu menanggungnya sendirian," ujarnya. Banyak sekolah masih terendam lumpur, rusak struktural, bahkan hilang terbawa arus, sementara ratusan ribu siswa dan guru terkatung-katung tanpa kepastian kapan bisa kembali belajar. Bantuan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah senilai Rp 13,3 miliar dinilai sangat kecil dibandingkan kerusakan yang terjadi di puluhan kabupaten/kota di tiga provinsi.


Namun, pemerintah pusat memutuskan untuk tidak menetapkan status bencana nasional. Dilansir dari Tempo.co, Presiden Prabowo Subianto saat mengunjungi Kabupaten Tapanuli Tengah pada 1 Desember 2025 menyatakan, "Kita monitor terus. Saya kira kondisi yang sekarang ini sudah cukup." Kepala BNPB Letnan Jenderal TNI Suharyanto menilai bencana ini belum memenuhi standar bencana nasional, baik dari jumlah korban maupun situasi di lapangan. Ia bahkan mengklaim kondisi di lapangan tidak terlalu mencekam yang tersebar di media sosial.


Dilansir dari Tempo.co, Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla turut memberikan pandangan terkait polemik status bencana nasional. Saat meninjau persediaan bantuan di Lanud Halim Perdana Kusuma pada 1 Desember 2025, JK menyatakan, "Soal itu (bencana nasional) itu bukan soal. Tidak usah ada (bencana) lokal atau nasional. Jangan terjebak." Ia menilai selama pemerintah pusat ikut turun menangani peristiwa ini, maka status bencana nasional tidak perlu dipermasalahkan. "Mau lokal atau nasional, itu memang harus kita bantu. Apalagi ini ada tiga provinsi," tegasnya.


Meskipun tidak menetapkan status bencana nasional, pemerintah mengklaim penanganan dilakukan secara nasional dengan sumber daya maksimal. Dilansir dari Kompas, Menteri Koordinator PMK Pratikno dalam konferensi pers pada 3 Desember menegaskan bahwa Dana Siap Pakai (DSP) pemerintah dijamin tersedia penuh untuk tanggap darurat. Seluruh lembaga seperti BNPB, TNI, Polri, dan BUMN diperintahkan responsif maksimal dalam penyelamatan, distribusi bantuan, dan pemulihan fasilitas vital. Presiden Prabowo juga menyatakan bahwa reaksi BNPB, TNI, dan Polri sudah cukup cepat dengan pengerahan helikopter, Hercules, dan berbagai pesawat untuk operasi bantuan.


Terkait bantuan internasional, dilansir dari Katadata, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan apresiasi atas perhatian negara-negara sahabat, namun menegaskan pemerintah Indonesia belum membutuhkan bantuan dari luar negeri. "Pemerintah masih mampu menangani seluruh persoalan bencana yang terjadi di Pulau Sumatera," katanya di Lanud Halim Perdanakusuma pada 3 Desember. Prasetyo meyakinkan ketersediaan pangan domestik masih mencukupi dan pemerintah fokus pada pemulihan pasokan vital, terutama Bahan Bakar Minyak.


Di tengah penanganan darurat, muncul sorotan tajam terhadap peran kerusakan lingkungan dalam memperparah bencana. Dilansir dari Kumparan, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam rapat kerja di DPR pada 4 Desember secara terbuka mengakui bahwa parahnya bencana banjir dipicu oleh kombinasi cuaca ekstrem, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), dan kerusakan Daerah Tangkapan Air (DTA). Meskipun ia mengklaim deforestasi nasional menurun 23,01% pada 2025, pengakuan tersebut memperkuat dugaan bahwa kondisi hutan di kawasan hulu memang sudah kritis.


Merespons hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup mengambil langkah tegas dengan mencabut semua persetujuan lingkungan terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di lokasi bencana. Dilansir dari Kontan.co.id, Menteri LH Hanif Faisol mengumumkan bahwa delapan perusahaan yang diindikasikan memperparah bencana akan dipanggil pekan depan. "Mulai dari sisi korporasi, tentu kami mulai hari ini akan menarik kembali semua persetujuan lingkungan dari dokumen lingkungan yang ada di daerah-daerah bencana," ujarnya pada 3 Desember. Pemerintah daerah yang memberikan izin melanggar ketentuan juga akan dikenakan sanksi.


Greenpeace turut mendesak penindakan tegas terhadap perambah hutan, khususnya di kawasan Tesso Nilo, Riau. Dilansir dari Abraham Samad Podcast, dalam percakapan yang terekam pada 2 Desember, perwakilan Greenpeace menyoroti maraknya kebun sawit ilegal di dalam kawasan hutan. Mereka menekankan bahwa undang-undang sudah sangat jelas dan pelaku perusakan hutan bukanlah rakyat kecil melainkan korporasi besar. "Cari siapa yang salah, tangkap. Apa susahnya? Kan sudah ada undang-undangnya," ujar perwakilan Greenpeace kepada Menteri Raja Juli Antoni.


Sementara itu, persoalan penanganan bencana di tingkat lokal juga mencuat. Dilansir dari akun Instagram @bkmedan_, Komisi IV DPRD Kota Medan menyoroti rendahnya kinerja Pemkot Medan dalam memanfaatkan dana bantuan Bank Dunia senilai Rp 1,5 triliun yang dialokasikan untuk penanggulangan banjir. Ketua Komisi IV Paul Mei Anton Simanjuntak menyatakan kekecewaan terhadap Bappeda dan Dinas Perkimcikataru yang tidak mampu mendorong penyelesaian program. "Persoalan banjir adalah masalah serius. Namun bantuan Bank Dunia Rp 1,5 triliun justru tidak berjalan. Ini menimbulkan pertanyaan," ujarnya dalam rapat pada 25 November 2025.


Pemerintah juga meningkatkan kesiagaan mengingat BMKG memperingatkan potensi hujan lebat hingga sangat lebat masih akan terjadi hingga akhir tahun 2025, tidak hanya di Sumatera tetapi juga meluas ke Jawa, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Dengan ancaman cuaca ekstrem yang masih berlanjut, upaya pencegahan dan mitigasi menjadi semakin krusial agar tragedi serupa tidak terulang.


Dari perspektif rakyat yang menjadi korban dan menyaksikan lambatnya respons sistemik, polemik status bencana nasional versus penanganan nasional terasa seperti permainan semantik di tengah penderitaan nyata. Ribuan keluarga kehilangan anggota keluarga, anak-anak kehilangan masa depan pendidikan, dan masyarakat kehilangan mata pencaharian. 


Ketika kepala daerah sudah menyatakan tidak mampu, ketika APBD terbukti tidak cukup, dan ketika infrastruktur hancur total, maka pengakuan formal melalui status bencana nasional bukan sekadar urusan administratif alias sebagai bentuk pengakuan negara atas skala krisis dan komitmen mobilisasi sumber daya tanpa batas.


Sementara janji penanganan maksimal tanpa label resmi mungkin terdengar pragmatis, rakyat butuh kepastian konkret bahwa tidak ada birokrasi yang akan menghambat aliran bantuan dan pemulihan. Yang lebih penting adalah pengakuan atas peran kerusakan lingkungan harus diikuti aksi nyata dan bukan sekadar mencabut izin korporasi setelah ratusan nyawa melayang, tetapi penegakan hukum yang tegas dan pencegahan sistemik agar bencana ekologis tidak terus memakan korban jiwa di masa depan.


Penulis: Rofi Nurrohmah

Editor: I Gusti Ayu Agung Erlina Putri Astana