Sumber: detiknews.com
Antara Harapan dan Keraguan: Telaah Hukum Terhadap Komposisi dan Mandat Komisi Reformasi Polri
ISU REFORMASI POLRI
Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pada 7 November 2025 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 112/P/2025. Komisi ini dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie dan diisi sepuluh anggota yang berasal dari kalangan hukum, purnawirawan, dan satu perwira aktif, yaitu Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Pelantikan ini berlangsung setelah gelombang tuntutan publik menyusul demonstrasi besar pada Agustus 2025. Sebelumnya, Listyo Sigit telah membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri berisi 52 perwira dengan mandat menyusun arah kebijakan dan memastikan pelaksanaan reformasi internal. Pemerintah menyatakan kedua kelompok kerja ini akan berjalan beriringan. Pembentukan komisi mendapat sambutan positif dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan dukungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bertekad mengawal kinerjanya agar menghasilkan perubahan substantif dalam penguatan etika, profesionalisme, dan kepercayaan publik terhadap Polri.
Namun dalam perspektif lain, Koalisi RFP menekankan bahwa pembentukan tim Reformasi Kepolisian harus dilengkapi kewenangan yang efektif, kemampuan menghasilkan rekomendasi yang mengikat, dan posisi strategis sebagai dasar perubahan Undang-Undang Polri (UU Polri). Tim tersebut perlu beranggotakan figur independen dari masyarakat sipil dan akademisi yang memiliki integritas serta rekam jejak kuat dalam isu kepolisian, bebas dari konflik kepentingan, dan bekerja melalui proses yang transparan. Koalisi menegaskan bahwa desain tim reformasi harus mampu mengarahkan perubahan mendasar di tubuh Polri dan memastikan seluruh rekomendasi ditindaklanjuti oleh Presiden agar agenda Reformasi Kepolisian tidak berhenti pada langkah prosedural.
Keraguan publik atas efektivitas Komisi Percepatan Reformasi Polri menguat setelah Presiden Prabowo Subianto melantik ketua dan para anggotanya. Kritik muncul karena komposisi komisi didominasi tokoh-tokoh yang pernah memimpin Polri dan dianggap tidak berhasil mendorong perubahan signifikan sebelumnya. Dalam salah satu artikel Hukumonline, dijelaskan bahwa Ketua YLBHI, Muhammad Isnur menilai kapasitas beberapa anggota untuk mengkaji problem struktural kepolisian tidak meyakinkan, sehingga kehadiran mereka justru memunculkan ketidakpercayaan. Meski Presiden meminta laporan berkala setiap tiga bulan dan berharap adanya dialog lintas unsur untuk memperkuat arah reformasi, keraguan tetap bertahan karena publik mempertanyakan apakah figur-figur yang pernah memegang kendali institusi dapat memimpin transformasi yang selama ini belum mereka wujudkan.
Maka dengan itu, desain komisi menjadi aspek penting karena Keppres dan struktur organisasinya harus mampu menghasilkan kebijakan yang memiliki kekuatan operasional. Kejelasan transparansi juga tampak dari bagaimana independensi dan kompetensi anggota diuji melalui kemampuan mereka melakukan evaluasi objektif terhadap Polri. Selain itu, prospek reformasi bergantung pada apakah komisi ini dapat mendorong revisi UU Polri dan perubahan sistemik, atau berhenti sebagai mekanisme administratif yang terbatas pada saran tanpa daya eksekusi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa setiap tahapan reformasi harus dapat ditelusuri, dipertanggungjawabkan, dan dipahami publik sebagai proses yang memiliki arah perubahan yang nyata.
REGULASI TERKAIT
a. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
c. Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
d. Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
e. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 112/P/2025
f. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
g. Peraturan Kapolri (Perkap) tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
PEMBAHASAN
Analisis Komposisi Komisi
Menurut Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi salah satu kekuatan utama dalam upaya pertahanan dan keamanan negara. Peran ini berjalan berdampingan dengan Tentara Nasional Indonesia dan kekuatan rakyat yang memberikan dukungan. Selanjutnya, Pasal 30 Ayat (4) UUD NRI 1945 menegaskan kembali posisi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tugas tersebut mencakup perlindungan, pengamanan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat, serta penegakan hukum.
Dalam beberapa waktu terakhir, berbagai kasus yang melibatkan oknum kepolisian ramai menjadi perhatian publik. Kasus yang paling menyita perhatian adalah kematian pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan taktis Brimob di Pejompongan, Jakarta Pusat, pada 28 Agustus 2025. Beberapa anggota Brimob dijatuhi sanksi etik dan administratif, mulai dari permintaan maaf di sidang, penempatan dalam tempat khusus (patsus), hingga pemberhentian tidak dengan hormat terhadap salah satu perwira. Publik menilai tindakan tersebut menunjukkan lemahnya kontrol komando dan akuntabilitas internal Polri.
Rangkaian kasus tersebut tersebar luas melalui media sosial dan memperkuat persepsi publik bahwa masalah kepolisian tidak lagi sebatas perilaku individu. Persepsi publik saat ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap institusi Polri. Dalam konteks ini, pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri mendapat perhatian besar. Berikut komposisi Komite Reformasi Polri 2025 :
1) Ketua/Anggota: Jimly Asshiddiqie (akademisi hukum; Ketua Mahkamah Konstitusi 2003–2008)
2) Anggota:
-Mahfud MD (akademisi hukum; Menkopolhukam 2019–2024)
-Yusril Ihza Mahendra (unsur pemerintah & akademisi hukum; Menkokumhamimipas)
-Supratman Andi Agtas (unsur pemerintah; Menteri Hukum)
-Otto Hasibuan (unsur pemerintah; Wamenkokumhamimipas)
-Badrodin Haiti (purnawirawan kepolisian; Kapolri 2015–2016)
-Tito Karnavian (unsur pemerintah & purnawirawan kepolisian; Menteri Dalam Negeri & Kapolri 2016–2019)
-Idham Azis (purnawirawan kepolisian; Kapolri 2019–2021)
-Listyo Sigit Prabowo (Kapolri)
-Ahmad Dofiri (Penasihat Khusus Presiden & purnawirawan kepolisian; Wakapolri 2024–2025)
Dalam menilai komposisi Komisi Percepatan Reformasi Polri, sejumlah laporan pada tahun 2025 menampilkan kritik yang konsisten terkait independensi, representasi publik, dan efektivitas kelembagaan komisi. Kritik-kritik ini penting karena memberikan gambaran faktual mengenai bagaimana komisi dipersepsikan oleh masyarakat dan kelompok advokasi di luar struktur negara.
Pertama, berbagai laporan menunjukkan bahwa komisi memiliki minim unsur sipil, dengan komposisi yang didominasi figur-figur dari kalangan pemerintah maupun kepolisian. Minimnya representasi sipil menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas kontrol eksternal dan keberanian komisi dalam melakukan penilaian kritis terhadap institusi yang sedang direformasi.
Kedua, terdapat sorotan tajam mengenai potensi konflik kepentingan dalam susunan keanggotaan komisi. Beberapa laporan juga mencatat kritik dari kelompok masyarakat sipil yang menilai bahwa struktur komisi serupa dengan pola pengawasan yang selama ini dinilai kurang efektif, sehingga menimbulkan keraguan terhadap kemampuan komisi menghasilkan rekomendasi yang independen dan transformatif.
Ketiga, dari sisi proses partisipatif, dokumen dan pernyataan resmi menunjukkan bahwa komisi berkomitmen bekerja secara terbuka dan menyerap aspirasi publik. Informasi resmi mencatat adanya audiensi dengan organisasi masyarakat sipil, termasuk kelompok HAM dan pemantau kepolisian, yang memberikan masukan mengenai pengawasan eksternal, mekanisme rekrutmen berbasis merit, serta reformasi budaya akuntabilitas.
Keempat, komisi juga membuka saluran partisipasi publik melalui surel dan WhatsApp sebagai upaya menjaring masukan yang lebih luas. Walaupun kebijakan ini menunjukkan responsivitas terhadap kebutuhan keterlibatan publik, tetap muncul pertanyaan mengenai apakah masukan tersebut akan diolah secara substantif dalam proses perumusan rekomendasi.
Kelima, beberapa pernyataan resmi menyebut bahwa komisi menargetkan penyusunan rekomendasi awal dalam tiga bulan. Target waktu yang singkat ini menimbulkan ambivalensi: di satu sisi memperlihatkan orientasi kerja cepat, tetapi di sisi lain berpotensi membatasi kedalaman kajian terhadap permasalahan struktural dalam institusi kepolisian.
Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri muncul dalam situasi publik yang tertekan oleh serangkaian kasus yang menyebabkan krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian. Kelompok masyarakat sipil dan lembaga pemantau menuntut agar reformasi dilakukan secara independen, partisipatif, dan menyasar akar permasalahan struktural, bukan sekadar langkah administratif. Beberapa koalisi masyarakat sipil bahkan menyerukan pembentukan tim reformasi yang benar-benar independen dan yang menargetkan sejumlah permasalahan sistemik Polri.
Secara teoritis, kerangka democratic policing menuntut aspek-aspek kunci: (1) pengawasan sipil yang kuat (civilian oversight), (2) transparansi dan akuntabilitas, (3) profesionalisme berbasis hak asasi manusia, serta (4) partisipasi publik yang bermakna. Literatur dan studi kasus domestik 2025 menegaskan bahwa transformasi menuju pemolisian demokratis di Indonesia masih menghadapi hambatan struktural termasuk budaya institusional, keberadaan perwira purnawirawan dalam posisi sipil, serta ketergantungan pada mekanisme pengawasan internal.
Temuan empiris awal 2025 menyoroti bahwa dua dekade reformasi belum sepenuhnya menghasilkan polisi sipil yang akuntabel di semua wilayah. Melihat susunan Komisi Reformasi Polri 2025, ada masalah representasi yang perlu mendapat perhatian: komisi diisi banyak tokoh dari unsur pemerintah dan purnawirawan Polri. Dari perspektif principal-agent, konfigurasi ini meningkatkan risiko self-reviewing dan capture yakni ketika agen (Polri) atau aktor dekat agen ikut berperan dalam mekanisme pengawasan terhadap diri mereka sendiri. Konsekuensinya, reformasi berisiko bersifat kosmetik, tidak menyentuh kultur, struktur insentif, dan mekanisme komando yang selama ini menjadi sumber permasalahan.
Analisis ini didukung oleh tuntutan dan kritik dari berbagai pihak pada 2025 yang menilai tim reformasi belum menunjukkan independensi substantif. Selain itu, aktor formal pengawas seperti Kompolnas pada 2025 menekankan kebutuhan reformasi yang memprioritaskan hak asasi, oversight yang kuat, dan transformasi digital untuk mendukung akuntabilitas menunjukkan bahwa rekomendasi komisi idealnya harus menggabungkan standar hak asasi, tata kelola modern, dan mekanisme pengawasan multi-lapis. Jika rekomendasi komisi tidak selaras dengan tuntutan ini, potensi untuk meningkatkan legitimasi publik akan sangat terbatas.
Waktu target kerja yang relatif singkat (tiga bulan untuk rekomendasi awal) memperburuk risiko hasil yang dangkal. Literatur reformasi kelembagaan menekankan bahwa perubahan budaya organisasi, model rekrutmen, dan mekanisme akuntabilitas memerlukan kajian longitudinal, partisipasi berkelanjutan, serta penguatan kapasitas kelembagaan bukan hanya produk kebijakan singkat. Oleh karena itu, agar rekomendasi memiliki peluang implementasi dan dampak nyata, komisi harus memperluas representasi aktor sipil independen, membuka mekanisme feedback yang transparan sehingga masukan publik benar-benar terintegrasi, dan meminta waktu atau fase tindak lanjut yang memungkinkan verifikasi implementasi.
Tinjauan dari Perspektif Democratic Policing
Reformasi lembaga kepolisian erat kaitannya dengan prinsip prinsip demokrasi. Pada dasarnya, reformasi kepolisian dengan integrasi berdasarkan demokrasi dikenal dengan istilah democratic policing. Kerangka democratic policing menuntut agar kepolisian dalam negara demokratis mengambil keputusan yang selaras dengan ketentuan publik, aspirasi masyarakat, serta standar kepatutan politik. Pendekatan ini memberikan polisi acuan untuk bergerak melampaui prosedur formal yang kerap hanya menawarkan sudut pandang terbatas dalam menangani persoalan kepolisian yang muncul.
Skolnick menyimpulkan bahwa dalam negara demokratis, polisi sebagai bagian dari birokrasi bertugas menjaga ketertiban berdasarkan rule of law, sehingga meskipun birokrasi menekankan inisiatif, rule of law tetap membatasi ruang gerak tersebut demi melindungi hak asasi manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip demokrasi menjadi penting sebagai sendi democratic policing.
Adanya semangat democratic policing menandakan dua hal: Pertama, kebutuhan karena berbagai penyimpangan di lapangan. Kedua, kebutuhan atas tuntutan modernisasi. Tantangan dalam penerapan demokrasi di kepolisian yang utama ialah terdapat problematika berupa institusi yang belum segenap hati menyokong budaya dan unsur-unsur demokrasi bagi warga negara, isu netralitas kepolisian dalam politik, adanya perilaku koruptif, dan kepolisian belum menjadi lembaga yang humanis dan antikekerasan.
Posisi strategis Kepolisian Nasional dalam sistem konstitusional Indonesia yang menuntut profesionalisme, kemandirian, dan akuntabilitas. Hal ini menempatkan Polri di persimpangan antara dinamika politik kontemporer dan perubahan citra institusi, yang secara signifikan memengaruhi legitimasi publik. Democratic Policing sebagai sebuah kerangka kerja pemolisian di dalam masyarakat demokratis mensyaratkan kepolisian mengambil kebijakan sesuai dengan ketentuan publik, aspirasi publik, dan political correctness. Oleh karena itu, democratic policing diharapkan dapat menyelaraskan kinerja institusi kepolisian dengan prinsi-prinsip demokrasi.
Analisis Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melalui Keputusan Presiden Nomor 112/P/2025 merupakan langkah responsif terhadap tuntutan publik, namun efektivitas dan legitimasi komisi ini harus diukur secara cermat berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Aspek krusial pertama adalah Asas Kepastian Hukum.
Komisi ini dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres), yang secara hirarki memiliki kekuatan hukum di bawah Undang-Undang. Koalisi RFP secara spesifik menyoroti perlunya kewenangan yang efektif dan posisi strategis, mengisyaratkan bahwa landasan hukum Keppres mungkin dianggap terlalu lemah untuk menghasilkan rekomendasi yang mengikat dan mendorong perubahan mendasar, apalagi merevisi Undang-Undang Polri (UU Polri). Menurut pakar hukum administrasi, Indroharto, kepastian hukum menuntut adanya kejelasan wewenang dan dasar pembentukan agar keputusan yang dihasilkan tidak menimbulkan rechtsonzekerheid atau ketidakpastian hukum di kemudian hari.
Isu kedua terkait erat dengan Asas Kepentingan Umum dan Asas Profesionalitas. Reformasi Polri seyogyanya didorong oleh kepentingan publik untuk penguatan etika, profesionalisme, dan peningkatan kepercayaan publik. Namun, kritik keras Muhammad Isnur dari YLBHI mengenai dominasi tokoh yang pernah memimpin Polri dalam komposisi komisi memunculkan keraguan publik atas independensi dan objektivitas komisi. Komposisi yang didominasi oleh purnawirawan berisiko menimbulkan konflik kepentingan atau setidaknya bias institusional, yang bertentangan dengan tuntutan Koalisi RFP agar komisi diisi oleh figur independen dan akademisi yang bebas dari konflik kepentingan. Padahal, menurut Philipus M. Hadjon, asas profesionalitas mengharuskan anggota komisi memiliki kapabilitas dan integritas yang tidak diragukan agar mampu mengkaji masalah struktural secara objektif dan menghasilkan solusi yang substantif, bukan sekadar kosmetik.
Selanjutnya, Asas Keterbukaan dan Asas Akuntabilitas harus menjadi pedoman utama dalam operasional komisi. Keppres Nomor 112/P/2025 mewajibkan adanya laporan berkala setiap tiga bulan, yang merupakan indikasi awal dari mekanisme akuntabilitas. Namun, Koalisi RFP menuntut proses yang transparan untuk memastikan bahwa rekomendasi yang dihasilkan merupakan hasil dari evaluasi objektif dan partisipasi publik, bukan hanya keputusan internal.
Keterbukaan diperlukan agar setiap tahapan reformasi dapat ditelusuri dan dipahami publik, sehingga dapat mengatasi keraguan yang muncul akibat komposisi anggota yang dipertanyakan. Jika proses kerja komisi tidak transparan, publik akan kesulitan menguji apakah komisi telah menjalankan Asas Kecermatan (hati-hati) dalam menyusun rekomendasi, dan pada akhirnya, keraguan atas efektivitas reformasi akan terus bertahan. Implementasi AAUPB secara menyeluruh akan menentukan apakah Komisi pimpinan Jimly Asshiddiqie ini akan menjadi mekanisme administratif yang terbatas pada saran atau benar-benar menjadi katalisator perubahan sistemik, termasuk mendorong revisi UU Polri.
Evaluasi Potensi Efektivitas Komisi
Evaluasi Potensi Efektivitas Komisi Percepatan Reformasi Polri perlu mempertimbangkan komposisi, mandat, serta keberpihakan terhadap agenda reformasi yang substansial dan berkelanjutan. Komisi ini dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang memiliki rekam jejak kuat di bidang hukum, dan diisi oleh anggota yang berasal dari berbagai kalangan, termasuk pejabat pemerintah, hukum, purnawirawan Polri, serta Kapolri aktif Listyo Sigit Prabowo. Dengan komposisi seperti ini, komisi memiliki legitimasi formal dan akses yang luas dalam pemerintahan, yang memungkinkan koordinasi lintas sektor untuk mendukung reformasi Polri secara efektif.
Namun, potensi efektivitas komisi ini juga mendapat sorotan kritis dari publik dan kalangan masyarakat sipil, khususnya Koalisi RFP, yang mengingatkan pentingnya kemandirian, keberpihakan objektif, dan kewenangan yang kuat agar rekomendasi yang dihasilkan dapat diterapkan nyata, bukan sekadar prosedural administratif. Keraguan ini muncul karena anggota komisi sebagian besar terdiri dari tokoh-tokoh yang sebelumnya pernah menduduki posisi strategis di Polri dan institusi terkait, yang dianggap gagal mengimplementasikan reformasi struktural sebelumnya. Pandangan ini menandai kekhawatiran bahwa proses reformasi bisa terhambat jika pimpinan dan anggota kurang independen dari kepentingan lama serta tidak memiliki pola pikir perubahan yang progresif.
Dari sisi struktur dan mekanisme kerja, presiden memberikan mandat agar komisi melaporkan progres secara berkala setiap tiga bulan dan mendorong dialog lintas unsur demi perkuatan reformasi. Hal ini memberikan peluang bagi transparansi dan akuntabilitas kerja komisi. Meski begitu, tidak adanya batas waktu kerja yang eksplisit serta kewenangan final yang mengikat menimbulkan ketidakpastian apakah komisi dapat mendorong revisi Undang-Undang Polri dan perubahan sistemik secara efektif. Kejelasan transparansi dalam evaluasi dan integritas anggota menjadi aspek penting agar masyarakat dapat menilai secara objektif progres dan hasil kerja reformasi.
Selain itu, keberhasilan komisi juga sangat bergantung pada sejauh mana pemerintah, DPR, dan lembaga lain mendukung dan mengawal agenda reformasi tersebut. Dukungan dari Ketua MPR dan DPR yang berkomitmen mengawal kinerja komisi bisa menjadi faktor penguat dalam memastikan rekomendasi tidak berhenti pada tingkat saran administratif. Namun, agar reformasi mempunyai daya eksekusi yang kuat, komisi harus mampu merancang desain kebijakan yang operasional dan mampu mendorong perubahan mendasar pada institusi Polri, bukan sekadar memenuhi tuntutan formalitas.
Singkatnya, meskipun komisi memiliki modal pengalaman, legalitas, dan akses politik yang potensial, efektivitasnya amat bergantung pada independensi, kemampuan menghasilkan rekomendasi yang tidak hanya bersifat normatif tapi mengikat, serta dukungan politik yang kuat agar setiap tahap reformasi dapat dilaksanakan secara transparan dan berdampak riil terhadap perubahan sistem dan budaya Polri. Tanpa elemen-elemen ini, komisi berisiko menjadi mekanisme administratif yang terbatas pada rekomendasi tanpa daya eksekusi nyata sehingga tidak mampu memenuhi harapan publik akan reformasi yang substansial dan berkelanjutan.
KESIMPULAN
Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang dibentuk melalui Keppres Nomor 112/P/2025 merupakan langkah politik yang penting dan responsif dari Presiden Prabowo Subianto terhadap krisis kepercayaan publik yang memuncak setelah serangkaian kasus pelanggaran. Komisi ini memiliki modal awal berupa legitimasi formal yang dipimpin oleh akademisi hukum terkemuka, Jimly Asshiddiqie, serta akses kebijakan yang tinggi karena melibatkan pejabat pemerintah dan Kapolri aktif. Dari perspektif Asas Efisiensi dan Asas Daya Guna pemerintahan, komposisi ini berpotensi mempercepat koordinasi dan implementasi rekomendasi di lapangan.
Namun, analisis kritis terhadap AAUPB dan kerangka democratic policing menyoroti bahwa potensi keraguan publik jauh lebih kuat daripada harapan. Pertama, dari sudut pandang Asas Kepastian Hukum, landasan Keppres dianggap rentan dan tidak cukup kuat untuk menghasilkan rekomendasi yang mengikat dan menjadi dasar revisi UU Polri, yang merupakan tuntutan substansial dari Koalisi RFP. Kedua, dari perspektif Asas Profesionalitas dan Asas Independensi, dominasi purnawirawan dan aktor pemerintah dalam Komisi secara nyata melanggar prinsip civilian oversight dan meningkatkan risiko self-reviewing atau konflik kepentingan institusional. Hal ini, sebagaimana dikritik oleh YLBHI, memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap kemampuan Komisi untuk mengkaji masalah struktural secara objektif dan mendasar, bukan sekadar bersifat kosmetik.
REFERENSI
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 30 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 292 TLN No. 5601.
Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2002, LN Tahun 2002 No. 2 TLN No. 4168.
Undang-Undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU Nomor 28 Tahun 1999 LN Tahun 1999 No. 75 TLN No. 3851.
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 112/P/2025.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kapolri (Perkap) tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
Jurnal dan Buku
Christmas, Sandy Kurnia, and Piramitha Angelina. “EFEKTIVITAS KEPOLISIAN SEBAGAI LEMBAGA RULE OF LAW DALAM MENGEMBAN NILAI-NILAI DEMOKRASI.” TANJUNGPURA LAW JOURNAL 6, no. 1 (January 29, 2022): 14. https://doi.org/10.26418/tlj.v6i1.46572.
Herjawan, Hery, and Djuni Thamrin. “Transformasi Pemolisian Demokratis Di Papua.” Jurnal Kajian Ilmiah 23, no. 3 (September 27, 2023): 281–94. https://doi.org/10.31599/wxrkwz31.
Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press, 2008.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Kurniawan, Hendy F. “Eksistensi Kepolisian RI Di Tengah Disrupsi Politik Dan Citra Institusi.” Syntax Literate ; Jurnal Ilmiah Indonesia 10, no. 6 (June 17, 2025). https://doi.org/10.36418/syntax-literate.v10i6.59925.
Setiawan, Mursyid, Cecep Darmawan, Muradi Muradi, and Syaifullah Syaifullah. “Penguatan Pemolisian Demokratis Dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan: Sebuah Analisis Konseptual.” Jurnal HAM 14, no. 3 (December 29, 2023): 217. https://doi.org/10.30641/ham.2023.14.217-234.
Website Artikel
ICJR. (2025, September 16). Rilis Koalisi RFP: Koalisi RFP Tuntut Presiden untuk Membentuk Tim Reformasi Kepolisian yang Independen dan Menyasar Setidaknya 9 (Sembilan) Masalah Sistemik Polri. ICJR.or.id. Diakses 25 Oktober 2025, dari https://icjr.or.id/rilis-koalisi-koalisi-rfp-tuntut-presiden-untuk-membentuk-tim-reformasi-kepolisian-yang-independen-dan-menyasar-setidaknya-9-sembilan-masalah-sistemik-polri/
Muradi. “Democratic Policing Dan Keamanan Nasional.” Koran Sindo, 2018. https://nasional.sindonews.com/berita/1365975/18/democratic-policing-dan-keamanan-nasional.
Hukumonline. (2025, November 8). Prabowo Resmi Lantik Komisi Reformasi Polri, YLBHI: Kami Justru Semakin Ragu. Hukumonline.com. Diakses 25 Oktober 2025, dari https://www.hukumonline.com/berita/a/prabowo-resmi-lantik-komisi-reformasi-polri--ylbhi--kami-justru-semakin-ragu-lt690f1d0fc745e/.
Tempo. (2025, November 7). Presiden Prabowo Lantik Komisi Percepatan Reformasi Polri. Tempo.co. Diakses 25 Oktober 2025, dari https://www.tempo.co/politik/breaking-news-presiden-prabowo-lantik-komisi-percepatan-reformasi-polri-2087360.
Tempo.co. Polisi Penumpang Rantis Brimob Pelindas Affan Kurniawan Dijatuhi Sanksi Minta Maaf. Tempo.co. Diakses pada 24 November 2025, dari https://www.tempo.co/hukum/polisi-penumpang-rantis-brimob-pelindas-affan-kurniawan-dijatuhi-sanksi-minta-maaf-2078200.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Dunia Militer Berduka: Eks Kadispen TNI AU Gugur d...
03 August 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Mekanisme Pemakzulan Kepala Daerah dalam Sistem Hu...
05 November 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →
Rasuah Menjangkiti Akar Rumput: Angka Kasus Korups...
24 November 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →