Interaksi ekonomi lintas negara yang semakin mudah membuat batas yurisdiksi pemajakan tidak lagi sejelas dulu, terutama ketika aktivitas digital memungkinkan perusahaan memperoleh keuntungan tanpa kehadiran fisik. Kondisi ini menuntut pemahaman yang lebih tajam mengenai pembedaan pajak serta bagaimana hak pemajakan dibagi antarnegara agar tidak terjadi tumpang tindih maupun kekosongan pemajakan. Di tengah ketegangan antara kedaulatan fiskal negara dan kebutuhan koordinasi global, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya sistem pembagian pajak dirancang agar tetap adil, efektif, dan adaptif terhadap ekonomi modern?


Evolusi Konseptual Pembedaan Pajak dalam Sistem Internasional

Pembedaan pajak dalam konteks internasional tidak hanya menyangkut jenis objek, subjek, atau tarif pajak. Di tingkat global, pembedaan paling mendasar adalah basis pemajakan, yaitu apakah penghasilan dikenakan pajak oleh negara sumber (source) atau negara domisili (residence).

1) Source-Based Taxation

Negara sumber berhak mengenakan pajak atas kegiatan ekonomi yang terjadi di wilayahnya. Pendekatan ini lebih disukai negara berkembang karena memberikan pendapatan atas aktivitas multinasional yang memanfaatkan sumber daya lokal meski laba dipindahkan ke yurisdiksi lain.

2) Residence-Based Taxation

Negara tempat wajib pajak berdomisili mengklaim hak pemajakan atas penghasilan globalnya (worldwide income). Rezim ini memiliki posisi lebih kuat di negara maju yang menampung perusahaan multinasional.

Konflik sumber domisili inilah yang menjadi akar sengketa pajak global. Ketika perusahaan digital beroperasi tanpa kehadiran fisik, kedua rezim itu tidak lagi memadai, sehingga dunia membutuhkan kategori baru seperti economic presence, market jurisdiction, dan amount A/B/C dalam BEPS 2.0.


Peran Perjanjian Pajak dan Kesenjangan Normatif dalam Pembagian Pajak

Untuk mencegah pajak berganda dan mengatur pembagian pajak antarnegara, negara-negara menggunakan Double Taxation Treaties (DTTs). Namun jurnal mencatat fakta mengejutkan, yakni dari 18.000+ potensi hubungan pajak antarnegara, hanya 3.000 yang memiliki DTTs. Artinya, mayoritas hubungan pajak dunia dijalankan tanpa kerangka treaty yang pasti, bergantung pada:

> Hukum Nasional;

> Soft-Law OECD;

> Praktik Kebiasaan Internasional.


Kesenjangan normatif ini menciptakan ruang yang luas untuk perbedaan interpretasi, konflik yurisdiksi, dan strategi agresif penghindaran pajak oleh multinasional. Karena itu, OECD mendorong agenda harmonisasi melalui BEPS dan MLI (Multilateral Instrument) sebagai mekanisme untuk menyamakan standar tanpa harus menegosiasi ulang ribuan perjanjian bilateral.


Transformasi Pembagian Hak Pemajakan di Era Digital

Pembagian hak pemajakan (allocation of taxing rights) memasuki fase paling kritis sejak ekonomi digital melemahkan syarat kehadiran fisik dalam pemajakan lintas negara. Ketika perusahaan dapat meraih keuntungan besar tanpa membuka kantor, mempekerjakan pegawai lokal, atau memiliki fasilitas produksi, fondasi pajak internasional yang dibangun hampir seabad lalu mulai goyah. Ketegangan antara prinsip tradisional permanent establishment dan model bisnis digital inilah yang memaksa komunitas global merumuskan ulang aturan main perpajakan internasional. Reformasi tersebut kemudian berkembang dalam dua tahap besar yang saling berkaitan.


1) BEPS 1.0: Menahan Erosi Basis Pajak dan Pengalihan Laba

Tahap awal BEPS difokuskan pada penutupan celah hukum yang memungkinkan penghindaran pajak agresif, termasuk manipulasi transfer pricing, pengalihan laba ke yurisdiksi berfasilitas pajak rendah, treaty shopping, dan rekayasa struktur bisnis melalui hybrid mismatch arrangements. Upaya ini meningkatkan transparansi dan kolaborasi internasional, tetapi tidak menyentuh persoalan inti ekonomi digital karena pendekatannya masih berlandaskan keberadaan fisik sebagai dasar pemajakan.


2) BEPS 2.0: Arsitektur Baru Pembagian Hak Pajak Global

Tahap berikutnya menghadirkan reformasi yang jauh lebih radikal. Pilar 1 memperkenalkan mekanisme Amount A, yaitu alokasi sebagian laba perusahaan multinasional kepada negara tempat nilai ekonominya dihasilkan bahkan ketika perusahaan tidak memiliki kantor, pegawai, atau fasilitas permanen di negara tersebut. Ini adalah pergeseran terbesar dalam sejarah pajak internasional. Pilar 2 menetapkan pajak minimum global 15%  untuk mencegah kompetisi tarif pajak yang merugikan negara berkembang dan menutup peluang perlombaan menurunkan tarif secara tidak sehat. Kedua pilar ini menggeser paradigma pemajakan dari physical presence menuju economic presence, menciptakan model distribusi hak pajak yang lebih relevan dengan pola aktivitas ekonomi modern.


Ketegangan Politik dan Fragmentasi Sengketa Pajak Internasional

Meningkatnya intensitas transaksi lintas batas membuat sengketa pajak bergerak keluar dari ruang sempit hukum pajak murni. Ketika digitalisasi mengubah cara perusahaan beroperasi dan negara merespons dengan kebijakan yang berbeda-beda, konflik pajak pun merembet ke berbagai rezim hukum internasional. Perpajakan tidak lagi berdiri sendiri, tetapi ikut berkelindan dengan politik dagang, investasi internasional, hingga mekanisme arbitrase multilateral.


1) Pajak Digital Unilateral (DST)

Lambatnya tercapainya kesepakatan global mengenai pemajakan digital mendorong negara seperti Prancis, India, Italia, dan Turki menerapkan pajak digital secara unilateral. Kebijakan sepihak ini memicu reaksi keras Amerika Serikat melalui ancaman tarif impor, sehingga isu pemajakan bergeser menjadi perselisihan dagang. Fenomena DST memperlihatkan bahwa perbedaan pendekatan terhadap hak pemajakan dapat memicu ketegangan geopolitik, bukan sekadar debat fiskal.


2) Fragmentasi Penyelesaian Sengketa

Dalam konteks global, sengketa pajak tidak lagi hanya ditangani otoritas pajak melalui prosedur Mutual Agreement Procedure (MAP) dalam perjanjian pajak. Konflik terkait pajak kini juga muncul di tribunal investasi seperti ICSID, forum WTO ketika berkaitan dengan tarif atau subsidi, hingga arbitrase bilateral yang menafsirkan perjanjian investasi. Kondisi ini menandakan bahwa perpajakan telah menjadi isu lintas-rezim sehingga membutuhkan harmonisasi antara aturan pajak, perdagangan, dan investasi.


2) Keterbatasan Arbitrase Wajib dalam MLI

Upaya memperkuat penyelesaian sengketa melalui Multilateral Instrument (MLI) menghadapi hambatan besar. Dari lebih dari 90 negara penandatangan, hanya sekitar 30 yang menyatakan kesediaan menerapkan arbitrase wajib. Resistensi ini menunjukkan kekhawatiran negara untuk menyerahkan sebagian kedaulatan fiskalnya kepada pihak ketiga. Akibatnya, tingkat kepastian dan konsistensi dalam penyelesaian sengketa pajak tetap terbatas, sekaligus memperbesar potensi fragmentasi antarnegara.


Implikasi Sistemik bagi Tata Kelola Pajak Global

Transformasi dalam sistem pajak global membawa implikasi langsung terhadap struktur hukum internasional. ITL dan PIL semakin tumpang tindih, membentuk lapisan regulasi yang lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Inclusive Framework dengan lebih dari 140 negara memberikan ruang multilateralisme baru yang tidak pernah terbentuk sebelumnya, tetapi sekaligus membuka pertanyaan tentang legitimasi, representasi, dan kedaulatan fiskal.


Di sisi lain, muncul dinamika baru di mana negara pasar, termasuk negara berkembang, mendapatkan peluang lebih besar untuk memperoleh porsi pendapatan pajak lebih adil dari aktivitas ekonomi digital. Namun, peluang ini berjalan beriringan dengan kekhawatiran bahwa transfer sebagian kewenangan fiskal ke mekanisme multilateral dapat mengurangi ruang kebijakan nasional. Di tengah ketegangan ini, masa depan pembagian hak pemajakan akan sangat ditentukan oleh kemampuan negara untuk menemukan keseimbangan antara kedaulatan fiskal dan kebutuhan tata kelola global yang konsisten.




Demikian artikel mengenai pajak internasional, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Pembedaan pajak dan pembagian hak pemajakan telah memasuki fase baru akibat disrupsi ekonomi digital, ketegangan politik antarnegara, dan tekanan untuk menciptakan sistem pajak internasional yang lebih adil. Upaya reformasi melalui BEPS dan MLI menunjukkan adanya keinginan kolektif untuk menciptakan struktur pajak global yang lebih selaras. Namun pada saat yang sama, resistensi negara, perbedaan kepentingan, serta fragmentasi forum sengketa memperlihatkan bahwa harmonisasi penuh masih jauh dari tercapai. Perjalanan panjang menuju sistem pajak internasional yang stabil dan konsisten akan terus bergantung pada dialog global antara negara maju dan berkembang, antara rezim hukum pajak dan hukum internasional publik, serta antara kepentingan fiskal dan keadilan ekonomi.

REFERENSI

BUKU

OECD. Harmful Tax Competition: An Emerging Global Issue. Paris: OECD Publishing, 1998.

JURNAL

Chaisse, Julien & Mosquera, Irma. “Public International Law, International Taxation and Tax Dispute Resolution.” Asia Pacific Law Review 31. 1 (2023). Hlm. 192–203. DOI: 10.1080/10192557.2022.2102585.

Kleist, David. “The Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent BEPS—Some Thoughts on Complexity and Uncertainty.” Nordic Tax Journal 1 (2018). Hlm. 31.

Thuronyi, Victor. “International Tax Co-operation and a Multilateral Treaty.” Brooklyn Journal of International Law 26 (2001). Hlm. 1641.