Anjing dan kucing selama ini kita kenal sebagai hewan lucu, menggemaskan, dan menjadi sahabat setia manusia di rumah. Namun, tidak semua dari mereka menikmati kasih sayang yang sama. Di balik wajah-wajah polos itu, terdapat kisah kelam yang jarang dibicarakan, yakni praktik penjualan daging anjing dan kucing untuk dikonsumsi.


Tidak hanya kejam, tindakan ini juga sangat berbahaya bagi manusia. Daging anjing dan kucing berpotensi membawa penyakit mematikan seperti rabies, serta berbagai infeksi lain yang bisa menular melalui proses penyembelihan dan pengolahan yang tidak higienis. Selain itu, secara medis dan etis, daging anjing dan kucing memang bukan bahan pangan yang layak untuk dikonsumsi


Baru-baru ini, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung meneken Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 36 Tahun 2025 yang secara tegas melarang penjualan daging anjing dan kucing untuk dikonsumsi manusia di wilayah Jakarta. Kebijakan ini lahir sebagai respons atas masih ditemukannya praktik perdagangan dan konsumsi daging anjing dan kucing, baik secara terbuka maupun terselubung, yang meresahkan masyarakat serta aktivis perlindungan hewan.


Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 36 Tahun 2025 Tentang Pengendalian Hewan Penularan Rabies

Hingga  tanggal 27 November 2025, naskah lengkap Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2025 belum dipublikasikan secara resmi di JDIH Provinsi DKI Jakarta atau situs pemprov lainnya. Namun, Gubernur Pramono Anung telah menjelaskan secara langsung poin-poin utama dari peraturan tersebut melalui konferensi pers dan unggahan resmi di media sosialnya.


Secara garis besar, Pergub ini mengubah beberapa pasal dalam Pergub Nomor 199 Tahun 2016 tentang Pengendalian Hewan Penular Rabies (HPR) dengan menambahkan larangan tegas terhadap segala bentuk perdagangan dan penjagalan HPR untuk tujuan konsumsi manusia. Larangan tersebut mencakup tiga hal pokok, di antaranya:

1) perdagangan hewan hidup yang tergolong HPR dengan tujuan akhir sebagai bahan pangan;

2) perdagangan daging segar, daging beku, maupun produk olahan berbahan dasar HPR.

3) kegiatan penjagalan atau pembunuhan HPR yang dilakukan untuk menghasilkan daging atau produk turunan yang akan dijual atau dikonsumsi.


Hewan Penular Rabies (HPR) yang dimaksud tidak hanya anjing dan kucing, melainkan juga mencakup kera, kelelawar pemakan buah, musang, luwak, serta “hewan lain sebangsanya” yang secara epidemiologis terbukti mampu membawa dan menularkan virus rabies. Dengan rumusan ini, ruang lingkup larangan menjadi sangat luas dan menutup celah yang sebelumnya dimanfaatkan pedagang untuk beralih ke spesies lain


Pergub ini menggunakan pendekatan sanksi administratif bertingkat agar penegakan hukum lebih cepat dan efektif dibandingkan menunggu proses pidana. Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha maupun individu adalah sebagai berikut:

a. teguran tertulis;

b. penyitaan sementara atau permanen terhadap hewan hidup HPR, daging, dan produk olahannya;

c. penghentian sementara kegiatan usaha;

d. penutupan lokasi usaha; 

e. pencabutan izin usaha. 


Analisis Alasan Diterbitkannya Peraturan ini 

Meskipun daging merupakan salah satu sumber protein hewani utama bagi manusia, tidak semua jenis daging aman dan layak dikonsumsi. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, hanya hewan-hewan ternak tertentu yang diizinkan untuk dipotong dan diperdagangkan sebagai bahan pangan, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, ayam, itik, dan babi. Hewan non-ternak, terutama yang tergolong Hewan Penular Rabies (HPR) seperti anjing, kucing, kera, kelelawar, musang, dan luwak, secara ilmiah dan hukum tidak termasuk dalam daftar hewan pangan karena membawa risiko kesehatan yang sangat tinggi.


Mengambil contoh dari daging anjing jika dikonsumsi dapat menyebabkan penyakit rabies, infeksi cacing pita, dan infeksi bakteri pada usus yang dapat memicu diare berat. Jika konsumsi daging HPR ini tidak dilarang, dapat berpotensi besar merusak kesehatan masyarakat Indonesia.


Di Jakarta sendiri, sorotan terhadap perdagangan daging HPR sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Koalisi Dog Meat-Free Indonesia (DMFI) sejak 2013–2023 secara konsisten melakukan investigasi lapangan dan menemukan fakta mencengangkan, bahwa sekitar 9.000–10.000 ekor anjing dipasok ke Jakarta setiap bulannya, terutama dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Anjing-anjing ini disembelih di puluhan rumah jagal ilegal di wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara. Sebagian besar anjing tersebut adalah hewan peliharaan yang dicuri atau anjing liar yang ditangkap dengan cara kejam (diracun, dipukul, atau dijerat). Permasalahan ini kemudian diaudiensi kepada Pramono Anung sebagai dasar dibentuknya peraturan bagi perlindungan hewan-hewan ini. Lahirnya Pergub Nomor 36 Tahun 2025 menjadi bentuk tanggung jawab negara kepada kesejahteraan hewan.


Hukum Bukan Hanya untuk Manusia, tapi untuk Semua Makhluk Hidup

Barunya peraturan ini ditetapkan padahal kondisi ini telah lama subur di kegiatan masyarakat Indonesia mencerminkan kurangnya penegakan hukum sebagai perlindungan kehidupan hewan. Perlindungan hukum bagi hewan terkadang tidak diprioritaskan masyarakat karena selama ini hewan seringkali hanya diposisikan sebagai “benda bergerak” atau objek ekonomi semata, bukan sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan merasakan sakit, takut, dan stres. Bahkan ketika terjadi pelanggaran terhadap kehidupan hewan, seringkali sanksi pidananya bersifat “ringan” yang membuat tidak adanya efek jera bagi pelaku pelanggaran.


Regulasi yang diwujudkan di Jakarta menjadi langkah untuk mengoreksi ketimpangan tersebut dan diharapkan menjadi contoh bagi provinsi lain bahwa hukum yang adil adalah hukum yang melindungi yang lemah, apapun spesiesnya.


Demikian artikel mengenai Jakarta Larang Total Perdagangan dan Penjagalan Hewan Penular Rabies untuk Konsumsi dengan Pergub No. 36 Tahun 2025, semoga bermanfaat! Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis. 


Perdagangan dan konsumsi daging anjing serta kucing yang berbahaya dan tidak layak dikonsumsi masih berlangsung di Jakarta, mendorong Gubernur Pramono Anung menerbitkan Pergub No. 36 Tahun 2025 yang melarang seluruh bentuk jual beli dan penjagalan hewan penular rabies (HPR). Larangan ini mencakup anjing, kucing, kera, musang, hingga kelelawar, disertai sanksi administratif seperti teguran, penyitaan, hingga pencabutan izin. Kebijakan ini menjadi langkah penting untuk melindungi kesehatan masyarakat sekaligus menegaskan bahwa hewan adalah makhluk hidup yang harus dilindungi, bukan komoditas pangan.

Referensi

Jurnal Ilmiah

Manullang, Hotman, Saragih Yasmirah, Fauzan, Tambunan Zakaria, Pangaribuan. “Penegakan Hukum Pidana dalam Perlindungan Hewan di Indonesia” Jurnal Dunia Ilmu Hukum dan Politik. No. 1 (2023). Hlm. 165-166

Suputra, Made, Wirawan Gusti, Indira Wahyu. “Perancangan Media Kampanye Sosial Larangan Makan Daging Anjing di Bali” Karya Ilmiah ISI Denpasar. Hlm. 2-4

Artikel Webpage

Sompotan, Johnny. “Jakarta Resmi Larang Konsumsi Daging dan Kucing.” beritasatu.com. 25 November 2025. Tersedia pada https://www.beritasatu.com/dki-jakarta/2943877/jakarta-resmi-larang-konsumsi-daging-anjing-dan-kucing. Diakses pada tanggal 27 November 2025

Abdurrahman, Sultan. “Pramono Terbitkan Pergub Larangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing” tempo.co. 25 November 2025. Tersedia pada https://www.tempo.co/politik/pramono-terbitkan-pergub-larangan-perdagangan-daging-anjing-dan-kucing-2092907. Diakses pada tanggal 27 November 2025

Anwar, Ilham. “Isi Pergub 36/2025 yang Diteken Gubernur Jakarta Pramono Anung” tirto.id. 26 November 2025. Tersedia pada https://tirto.id/isi-pergub-36-2025-yang-diteken-gubernur-jakarta-pramono-anung-hmBq#:~:text=Pergub%20Nomor%2036%20Tahun%202025%20mengatur%20tentang%20larangan%20jual%20beli,penjagalan%20HPR%20untuk%20tujuan%20pangan. Diakses pada tanggal 27 November 2025