Dalam konsep negara hukum, diamnya pemerintah bukan sekadar sikap pasif melainkan tindakan hukum yang dapat menimbulkan akibat nyata. Banyak warga pernah mengalami situasi ketika permohonan izin, rekomendasi, atau pengakuan administratif tidak kunjung mendapat tanggapan. Dahulu, diamnya pejabat berarti penolakan (fiktif negatif). Namun, sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), makna “diam” berubah: dalam kondisi tertentu, diam berarti setuju secara hukum.


Konsep ini dikenal sebagai Keputusan Fiktif Positif, yang memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari kelambanan birokrasi. Konsep ini menegaskan prinsip good governance, bahwa pejabat wajib bertindak dalam batas waktu yang wajar, dan keterlambatan bukan alasan untuk mengabaikan hak warga.


Namun, setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), muncul pergeseran signifikan dalam mekanisme penerbitan keputusan fiktif positif. Reformasi ini, yang awalnya bertujuan mempercepat pelayanan publik dan investasi, justru menimbulkan sejumlah masalah baru dalam praktik administrasi negara.


Asal-usul Konsep: Dari Fiktif Negatif ke Fiktif Positif

Awalnya, sistem hukum Indonesia hanya mengenal fiktif negatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa jika pejabat TUN tidak memberikan keputusan dalam batas waktu yang diatur, maka dianggap menolak permohonan.


Pendekatan ini memperlihatkan dominasi kekuasaan administratif, warga berada di posisi pasif, sementara pejabat berhak menentukan nasibnya melalui tindakan (atau justru ketidaktindakan). Akibatnya, banyak permohonan menggantung tanpa kepastian.


Lahirnya UUAP mengubah paradigma tersebut. Pasal 53 Ayat (3) UUAP memperkenalkan prinsip baru yang menyatakan bahwa “apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.”


Dengan demikian, diamnya pejabat tidak lagi dimaknai sebagai penolakan, tetapi persetujuan hukum. Paradigma administrasi pun bergeser dari yang bersifat otoriter menjadi citizen friendly mendahulukan kepentingan masyarakat dan kepastian pelayanan publik.


Syarat dan Mekanisme Terbitnya Fiktif Positif

Walaupun disebut “diam berarti setuju”, keputusan fiktif positif tidak serta-merta lahir otomatis. Ada syarat dan mekanisme hukum yang harus dipenuhi agar suatu permohonan dapat dikategorikan sebagai keputusan fiktif positif yang sah.

A. Syarat Terpenuhinya Fiktif Positif

Berdasarkan Pasal 53 UUAP dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan (PERMA No. 8 Tahun 2017), syaratnya adalah:

1) Adanya permohonan resmi dari warga atau badan hukum

Permohonan harus diajukan secara tertulis kepada pejabat berwenang dengan melampirkan dokumen dan persyaratan administratif lengkap sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

2) Permohonan diajukan kepada pejabat yang memiliki kewenangan

Fiktif positif tidak berlaku jika permohonan ditujukan kepada pejabat yang tidak berwenang. Hal ini penting karena asas legalitas menuntut setiap tindakan administratif dilakukan oleh pejabat yang kompeten.

3) Pejabat tidak memberikan keputusan dalam batas waktu yang ditentukan.

Waktu penyelesaian dapat diatur oleh undang-undang, peraturan teknis, atau standar pelayanan publik. Jika batas waktu berlalu tanpa tanggapan, hukum memandang pejabat telah lalai menjalankan kewajibannya.

4) Tidak ada surat penolakan tertulis

Jika pejabat telah menyampaikan keputusan penolakan secara tertulis, maka permohonan tidak bisa dikategorikan sebagai fiktif positif, sehingga dalam hal ini fiktif positif hanya terjadi apabila pejabat tidak menyampaikan penolakan secara tertulis.

5) Substansi permohonan tidak bertentangan dengan hukum atau kepentingan umum.

Prinsip ini menegaskan bahwa asas legalitas dan kehati-hatian (prudence) tetap menjadi filter moral agar fiktif positif tidak digunakan secara manipulatif.


B. Mekanisme Penetapan Sebelum dan Sesudah UU Cipta Kerja

1) Sebelum UUCK (Berdasarkan UUPA dan PERMA No. 8 Tahun 2017):

a. Warga mengajukan permohonan resmi;

b. Tenggat waktu berakhir tanpa tanggapan;

c. Warga mengajukan permohonan ke PTUN untuk mendapatkan penetapan bahwa permohonannya telah dikabulkan secara hukum;

d. PTUN memeriksa berkas secara cepat dan menetapkan keputusan dalam 21 hari kerja;

e. Setelah penetapan dikeluarkan, pejabat wajib menerbitkan keputusan nyata (KTUN) sesuai isi permohonan.

Mekanisme ini memastikan adanya kontrol yudisial agar fiktif positif tidak disalahgunakan, sekaligus memberi dasar hukum kuat bagi warga.


2) Setelah UU Cipta Kerja (Pasal 175 angka 6):

UU Cipta Kerja melalui Pasal 175 angka 6 mengubah mekanisme fiktif positif secara signifikan dengan mewajibkan pejabat untuk langsung menerbitkan keputusan tanpa menunggu penetapan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan demikian, konsep ini menjadi otomatis dan bersifat self-executing, di mana keputusan dianggap sah secara hukum begitu batas waktu penyelesaian permohonan terlampaui tanpa tanggapan. Namun, hingga kini Peraturan Presiden yang seharusnya menjadi aturan pelaksana belum diterbitkan, meskipun undang-undang mengamanatkan agar ditetapkan paling lambat tiga bulan setelah UUCK diundangkan.


Ketiadaan pedoman teknis tersebut menimbulkan ruang abu-abu bagi pejabat dan masyarakat: keputusan dianggap berlaku secara hukum, tetapi tidak memiliki dasar administratif yang jelas. Dalam konteks ini, ahli hukum administrasi negara, Prajudi Atmosudirdjo menegaskan bahwa diamnya pejabat dalam menjalankan kewajiban hukumnya sama buruknya dengan keputusan yang dikeluarkan secara serampangan. Pandangan ini menunjukkan bahwa ketidakaktifan birokrasi dapat menimbulkan kerugian hukum yang sama besar dengan tindakan administratif yang keliru, sehingga meskipun perubahan melalui UU Cipta Kerja bertujuan meningkatkan efisiensi, ketidakjelasan aturan pelaksana justru melemahkan kepastian hukum dan membuka ruang bagi kesalahan administratif.


Prosedur Hukum Fiktif Positif Sebelum UU Cipta Kerja

Sebelum revisi, sistem fiktif positif berperan sebagai bentuk check and balance antara warga dan pejabat. Dengan keterlibatan PTUN, setiap permohonan diuji kelayakan formilnya. Hal ini menjaga agar prinsip AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik) tetap terjamin, seperti asas kepastian hukum, keterbukaan, dan proporsionalitas.


PERMA No. 8 Tahun 2017 menjadi instrumen penting karena memberikan batas waktu tegas: pengadilan wajib memutus dalam 21 hari kerja, tanpa proses sidang panjang. Konsekuensinya, warga mendapat perlindungan dari ketidakpastian, sementara pejabat tetap memiliki ruang verifikasi terhadap kelengkapan berkas permohonan.


Perubahan Pasca UU Cipta Kerja

Perubahan oleh Pasal 175 Angka 6 UUCK menghapus kewajiban permohonan penetapan ke PTUN. Pejabat kini diwajibkan langsung menerbitkan keputusan fiktif positif ketika tenggat waktu terlampaui. Menurut salah satu dosen hukum administrasi negara Universitas Airlangga, Bagus Oktafian Abrianto, tujuan perubahan ini adalah untuk mempercepat ease of doing business dan memotong rantai birokrasi. Namun, tanpa aturan pelaksana berupa Peraturan Presiden, muncul kebingungan:

-Bagaimana bentuk keputusan otomatis itu?

-Kapan waktu dianggap sah?

-Siapa yang mengawasi penerapannya?

Kekosongan norma ini justru menimbulkan ketidakpastian yang bertentangan dengan semangat UUAP. Dalam praktik, banyak pejabat memilih diam karena takut menerbitkan keputusan tanpa dasar prosedural yang jelas.


Problematika dan Celah Hukum

Perubahan pasca-UUCK menghadirkan paradoks. Alih-alih mempercepat pelayanan publik dan memperkuat kepastian hukum, justru muncul berbagai problematika baru yang menghambat efektivitas penerapannya.


Pertama, terjadi kekosongan norma pelaksana. Hingga kini, peraturan presiden yang seharusnya mengatur tata cara penerbitan keputusan fiktif positif belum diterbitkan. Tanpa pedoman teknis, pejabat tidak memiliki acuan administratif yang jelas mengenai batas waktu, bentuk keputusan, maupun mekanisme pembuktiannya.


Kedua, hilangnya kontrol yudisial. Sebelumnya, keterlibatan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berfungsi sebagai mekanisme verifikasi terhadap kelengkapan dan legalitas permohonan. Setelah dihapus, tidak ada lagi lembaga yang berperan sebagai filter hukum di tahap awal penerbitan keputusan.


Ketiga, terdapat potensi penyalahgunaan. Mekanisme “diam berarti setuju” dapat dimanfaatkan untuk memperoleh keputusan cepat tanpa kajian substansial yang memadai, terutama dalam bidang perizinan usaha, lingkungan, atau tata ruang.


Keempat, beban tanggung jawab berlebih pada pejabat administrasi. Pejabat kini harus menafsirkan sendiri apakah suatu permohonan dianggap sah dan layak disetujui secara hukum. Tanpa mekanisme pembatalan yang cepat, risiko kesalahan administratif menjadi tinggi.


Kondisi tersebut menempatkan pejabat dalam dilema etis dan hukum. Jika menerbitkan keputusan tanpa dasar teknis yang jelas, kondisi tersebut berpotensi menimbulkan cacat prosedural. Sebaliknya, jika tidak menerbitkan keputusan setelah batas waktu berakhir, pejabat dapat dianggap melanggar asas pelayanan publik.



Demikian artikel mengenai fiktif positif dalam hukum administrasi negara, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Konsep fiktif positif lahir sebagai langkah maju menuju pemerintahan yang akuntabel dan efisien. Ia menegur praktik lama yang membiarkan permohonan publik menggantung tanpa kejelasan. Namun, pasca UUCK, konsep ini berada di persimpangan: antara harapan efisiensi dan ancaman ketidakpastian hukum. Tanpa peraturan pelaksana yang jelas, prinsip fiktif positif berisiko menjadi fiksi hukum ada dalam undang-undang, tapi sulit dijalankan. Pemerintah perlu segera menetapkan Peraturan Presiden agar mekanisme ini dapat berjalan sesuai tujuan awalnya: melindungi hak warga negara dari kelambanan administratif.

REFERENSI

BUKU

Hadjon, M, Philipus. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

JURNAL

Abrianto, Bagus Oktafian, Xavier Nugraha, Julienna Hartono, & Indah Permatasari Kosuma. Problematika Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersifat Fiktif Positif Setelah UU Nomor 11 Tahun 2020. Unair News, Maret 2024.

Naleng, Seflin. Dinamika Keputusan Fiktif Positif dalam Sistem Hukum Administrasi Pasca UU Cipta Kerja. Jurnal Hukum Administrasi Negara, 2024.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 51 Tahun 2009 LN Tahun 2009 No. 160, TLN No. 5601

Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 30 Tahun 2014 LN Tahun 2014 No. 292, TLN No. 5601.

Undang-Undang Tentang Cipta Kerja, UU Nomor 11 Tahun 2020 LN Tahun 2020 No. 245, TLN No. 6573