Wilayah Jawa Timur dan Bali diguncang gempa bumi tektonik bermagnitudo 5,7 pada Kamis (25/9) sore. Berdasarkan laporan BMKG yang dilansir cnnindonesia.com, episenter gempa terletak di laut 40 kilometer timur laut Banyuwangi pada kedalaman dangkal 12 kilometer. Getaran gempa yang terjadi pukul 16.04 WIB ini dirasakan hingga ke berbagai wilayah, termasuk Jember, Bondowoso, Denpasar, dan Mataram dengan intensitas berbeda-beda, mulai dari II hingga IV MMI.


Menurut Direktur Gempa bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, gempa ini merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas sesar aktif. "Hasil pemodelan menunjukkan bahwa gempa bumi ini tidak berpotensi tsunami," jelas Daryono seperti yang dikutip pada laman cnnindonesia.com


Berdasarkan informasi terbaru dari m.antaranews.com, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat sebanyak 24 gempa bumi susulan terjadi setelah guncangan utama. Daryono mengungkapkan bahwa gempa susulan terbesar tercatat bermagnitudo 3,6 dan terkecil 1,8 magnitudo. “ Sejauh ini tidak ada gempa susulan yang dirasakan masyarakat,” ujarnya pada Jumat (26/9).


Meski getaran utama terasa kuat di beberapa tempat, seperti di Jember dan Bondowoso di mana “getaran dirasakan nyata dalam rumah. Terasa getaran seakan-akan truk berlalu,” kata Daryono, laporan dampak kerusakan mulai diterima. Hasil kaji cepat sementara dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan kerusakan terjadi di Banyuwangi dan Situbondo. Di Banyuwangi, satu rumah dan satu tempat ibadah mengalami rusak ringan. Semantara di Situbondo terdapat 21 rumah rusak berat, 11 rusak sedang, 16 rusak ringan, serta masjid rusak pada bagian atap. Hingga berita ini diturunkan, belum ada laporan korban jiwa dan pendataan di lapangan masih berlangsung oleh tim petugas gabungan.


Daryono.mengingatkan masyarakat agar tetap waspada terhadap potensi gempa susulan, meskipun kekuatannya cenderung semakin kecil. Ia juga meminta masyarakat tidak mudah percaya pada informasi yang tidak bersumber dari pihak berwenang. BMKG terus memantau aktivitas seismik di sekitar Banyuwangi dan Situbondo, serta berkoordinasi dengan BNPB dan BPBD untuk mendukung langkah-langkah kesiapsiagaan masyarakat. Masyarakat juga diimbau memeriksa kondisi bangunan sebelum kembali menempati rumah serta memastikan jalur evakuasi aman.


Sementara itu, di seberang yang lain, Indonesia juga menghadapi ancaman geologis dari aktivitas vulkanik. Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih menunjukkan aktivitas tinggi dengan status Level IV (Awas). Menurut tempo.com yang melansir data PVMBG, gunung ini tercatat erupsi sebanyak 61 kali dalam dua hari terakhir, memuntahkan kolom abu setinggi 200-1.500 meter. Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid mengatakan, "Kondisi ini menegaskan bahwa suplai magma masih berlangsung ... sistem gunung api berada dalam fase kritis dengan potensi erupsi yang berlanjut." Masyarakat diimbau untuk tidak beraktivitas dalam radius 6 kilometer dari kawah.


Aktivitas gempa tektonik dan erupsi vulkanik ini mengingatkan kembali akan tingginya kerentanan Indonesia sebagai wilayah cincin api (ring of fire). Kedua peristiwa ini, meski secara teknis tidak langsung berkaitan, sama-sama dipicu oleh dinamika lempeng bumi dan pergerakan magma di bawah permukaan, menuntut kewaspadaan dan kesiapsiagaan bencana yang terus-menerus dari semua pihak.


Mewartakan juga dari laman tempo.co, bahwa di tengah ancaman bencana alam yang nyata, terdapat komitmen Indonesia dalam menghadapi ancaman global lainnya yaitu perubahan iklim, turut disoroti. Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk memperkuat komitmen transisi energi yang disampaikan Presiden Prabowo di PBB. Direktur Eksekutif Yayasan Cerah Indonesia, Agung Budiono menyoroti bahwa kebijakan energi nasional masih memberi ruang bagi energi fosil. “Sudah seharusnya pemerintah merevisi seluruh kebijakan ... agar selaras dengan komitmen (Perjanjian Paris),” ujar Agung. Mereka juga mendesak penghapusan "solusi palsu" seperti co-firing biomassa yang dianggap memperpanjang ketergantungan pada batubara.


Dengan demikian, Indonesia tidak hanya dituntut untuk tanggap dalam menghadapi bencana geologis yang langsung terlihat, tetapi juga konsisten dalam merespons krisis iklim yang dampaknya bersifat global dan jangka panjang. Ketidakselarasan kebijakan energi dinilai dapat memperburuk dampak krisis iklim, yang pada akhirnya dapat memicu bencana hidrometeorologi lain seperti gagal panen dan banjir rob, menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi bangsa.


Penulis: Rofi Nurrohmah

Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing