Jakarta – Sorotan publik kembali mengarah ke tubuh Polri, tetapi kali ini lewat catatan kelam Komnas HAM. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyebut Polri menerima ratusan aduan dugaan pelanggaran HAM sepanjang 2023–2024. Menjawab sorotan tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri beranggotakan 52 perwira. Namun langkah ini justru menuai keraguan publik, hingga Presiden Prabowo Subianto harus turun tangan dan  berencana membentuk Komite Reformasi Polri dengan melibatkan tokoh eksternal, termasuk Mahfud MD. 


Dilansir dari Tempo.co Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali menjadi sorotan publik setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat institusi ini sebagai yang paling banyak diadukan terkait dugaan pelanggaran HAM. Temuan ini disampaikan oleh Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR pada Senin (22/9/2025). Data aduan yang diterima Komnas HAM sejak Januari 2023 hingga Desember 2024 menunjukkan tingginya laporan dugaan pelanggaran hak atas rasa aman dan hak memperoleh keadilan yang melibatkan aparat kepolisian.


Anis Hidayah merinci, dalam klaster dugaan pelanggaran hak atas rasa aman, sebanyak 504 aduan telah diterima, dengan Polri menjadi pihak yang paling banyak diadukan. Selain itu, ada 32 aduan yang menyangkut dugaan pembunuhan atau penganiayaan oleh aparat, serta pemeriksaan terhadap pelapor atau saksi yang disertai intimidasi dan perlakuan tidak manusiawi. 


Sementara itu, di klaster hak memperoleh keadilan, Komnas HAM memproses 1.752 aduan, dengan isu utama yang paling sering dilaporkan adalah ketidakprofesionalan aparat penegak hukum, yang mencapai 1.137 aduan. Isu lainnya termasuk kinerja dan kode etik aparat, serta kasus kriminalisasi advokat yang juga melibatkan Polri.


Sebagai respons, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah resmi membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri pada 17 September 2025. Tim yang beranggotakan 52 perwira tinggi dan menengah ini dipimpin oleh Kepala Lembaga Diklat (Kalemdiklat) Polri, Komjen Chryshnanda Dwilaksana. 


Kapolri sendiri dalam hal ini berperan sebagai pelindung, sementara Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo menjadi penasihat. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, pembentukan tim ini merupakan langkah responsibilitas dan akuntabilitas Polri dalam menanggapi desakan masyarakat. Dilansir dari Kompas.com


Namun, langkah ini menuai tanggapan beragam dari sejumlah pihak. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengapresiasi upaya Kapolri, namun ia ragu dengan efektivitasnya. "Analoginya, tidak mungkin dokter melakukan operasi dirinya sendiri," kata Bambang seperti dikutip dari Kompas.id. 


Ia menjelaskan bahwa tim yang hanya diisi oleh perwira polisi berisiko memiliki "kendala subyektivitas dan bias kepentingan di internal, belum lagi resistensi dari kelompok." Hal ini, menurutnya, dapat membuat tim tersebut terkesan hanya "gimmick" politik tanpa perubahan substansial.


Senada, peneliti Public Virtue Research Institute (PVRI), Muhammad Naziful Haq, berpendapat bahwa tim yang hanya diisi oleh polisi jelas bermasalah. Ia menyarankan agar tim reformasi melibatkan tokoh eksternal seperti akademisi atau perwakilan masyarakat sipil. Ia menekankan bahwa reformasi Polri harus terbuka terhadap masukan masyarakat jika ingin membawa dampak positif bagi demokrasi. 


Di sisi lain, Anggota Komisi Kepolisian Nasional, M. Choirul Anam, justru melihat langkah ini sebagai sinyal positif. "Langkah ini tentu responsif, yang menunjukkan komitmen besar terhadap harapan publik agar perubahan kepolisian cepat dan konkret," tutur Anam. Ia meyakini tim internal ini akan bersinergi dengan tim eksternal yang akan dibentuk nanti.


Sementara itu, di tengah pro dan kontra ini, isu reformasi Polri juga ditanggapi serius oleh Istana Kepresidenan. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengonfirmasi bahwa Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk Komite Reformasi Polri dan telah mengundang sejumlah tokoh eksternal untuk bergabung, termasuk Mahfud MD., Guru Besar Hukum Universitas Islam Indonesia itu membenarkan bahwa ia telah dihubungi oleh pihak Istana. 


"Saya mengatakan bersedia membantu di tim reformasi Polri," ungkap Mahfud. "Saya sebagai warga negara yang baik, kalau ada yang baik dari pemerintah, mengapa tidak kita bantu? Oleh sebab itu, saya bantu," tegas Mahfud. Menurut Mahfud, reformasi yang paling mendesak adalah reformasi kultural, karena ia menilai Polri sudah terlalu berorientasi pada aspek materialistik. "Bagi saya, reformasi struktural dan instrumental sudah berjalan, tinggal kulturalnya saja yang belum," jelasnya dilansir dari Kompas.id


Reformasi Polri bukan hanya soal membentuk tim atau menyusun aturan baru, tetapi menyentuh akar persoalan yang paling dalam. Perbaikan kultur kekuasaan, profesionalitas aparat, hingga keberanian untuk membuka diri terhadap pengawasan publik. Di tengah derasnya kritik dan menurunnya kepercayaan masyarakat, keberhasilan reformasi akan menentukan wajah kepolisian Indonesia di masa depan. Pertanyaannya sederhana,  mampukah Polri membuktikan komitmennya sebelum kepercayaan publik benar-benar hilang?


Penulis: Sarah Novianti

Editor: I Gusti Ayu Agung Erlina Putri Astana