Sumber: www.greenpeace.org
Mengulik Peran Hukum Adat Indonesia dalam Menjaga Lingkungan
Di saat degradasi lingkungan terus berlangsung akibat dibabatnya hutan, sungai tercemar, dan sumber daya alam yang dikomersialkan secara masif, maka muncul kesadaran bahwa hukum formal saja tidak cukup. Di balik itu, masyarakat adat sering berdiri sebagai benteng terakhir pelestarian alam, menerapkan norma yang menghukum pelanggar lingkungan dengan cara yang tak hanya legal, tapi juga moral dan budaya.
Mengutip dari Megashift fisipol UGM, meski populasi masyarakat adat hanya 4–5% dunia, peran mereka krusial dalam menjaga keanekaragaman hayati. Fakta ini sejalan dengan pandangan Soepomo yang dikutip dari Van Vollenhoven, bahwa hukum harus dipahami dari kehidupan nyata persekutuan hukum adat. Mari menengok hukum adat Indonesia—bukan sekadar romantisme budaya, melainkan pengingat bahwa sejak lama mereka sudah jadi role model sejati dalam menjaga alam.
Landasan Konstitusi
Konstitusi Indonesia telah menegaskan pengakuan terhadap masyarakat adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang mengafirmasi hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan relevan dengan prinsip NKRI. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 bahkan memisahkan status hutan adat dari hutan negara dan memberi ruang bagi masyarakat adat untuk menjaga wilayahnya sendiri. Namun, pengakuan formal ini masih dihadapkan dengan tantangan implementasi, sehingga seringkali hukum adat berjalan lebih dulu dibanding hukum negara.
Ciptagelar: Harmoni Hutan dan Hukum Adat
Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat adalah contoh nyata bagaimana hukum adat menjaga keseimbangan alam. Hutan mereka dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Hutan tutupan, yang berfungsi sebagai penyangga dan hanya boleh diambil hasil non-kayu untuk kepentingan bersama;
2) Hutan titipan, yang dianggap sakral dan tidak boleh dimasuki tanpa izin sesepuh adat;
3) Hutan garapan, satu-satunya area untuk aktivitas manusia seperti bersawah, berladang, dan membangun rumah.
Pembagian ini menunjukkan komitmen Ciptagelar dalam menjaga keseimbangan alam dengan prinsip sederhana bahwa hutan adalah sumber kehidupan yang harus dimanfaatkan secukupnya. Bagi mereka, eksploitasi berlebihan hanya akan merusak keseimbangan hidup masyarakat.
Sasi Maluku: Tradisi Konservasi yang Hidup
Di Maluku, laut yang menutupi 93% wilayah provinsi menjadi tumpuan utama masa depan. Kekayaan ini dijaga melalui tradisi sasi, yaitu sebuah hukum adat yang melarang pengambilan hasil laut untuk jangka waktu tertentu. Praktik legendaris Sasi Lompa di Negeri Haruku telah ada sejak abad ke-17, memberi waktu ekosistem untuk pulih sebelum hasil laut dipanen bersama dalam upacara adat. Kini, sasi bahkan bertransformasi menjadi instrumen konservasi modern berbasis sustainability, dengan pembagian wilayah ‘bank ikan’ dan ‘hak ulayat laut’. Pergeseran orientasi ini menunjukkan fleksibilitas hukum adat yang mampu berdialog dengan ilmu pengetahuan modern, sekaligus menjaga identitas masyarakat adat.
Kesimpulan
Dari Ciptagelar di Jawa Barat hingga tradisi sasi di Maluku, terlihat jelas bahwa hukum adat bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi instrumen nyata pelestarian lingkungan yang bahkan melampaui efektivitas hukum formal. Konstitusi telah mengakui peran mereka, namun praktik di lapangan menunjukkan bahwa seringkali hukum negara tertinggal dalam melindungi alam. Hukum adat menegaskan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi juga soal identitas, spiritualitas, dan keberlangsungan hidup.
Demikian artikel mengenai Mengulik Peran Hukum Adat Indonesia dalam Menjaga Lingkungan, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi menunjukkan hukum formal saja tidak cukup, sementara masyarakat adat hadir sebagai benteng terakhir pelestarian dengan norma yang berpadu antara hukum, moral, dan budaya. Konstitusi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 serta Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 telah mengakui peran mereka, meski praktiknya sering berjalan lebih cepat daripada hukum negara. Contoh seperti Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat dengan pembagian hutan tutupan, titipan, dan garapan, serta tradisi sasi di Maluku yang melindungi ekosistem laut, menunjukkan bahwa hukum adat bukan sekadar warisan budaya, melainkan instrumen efektif menjaga keseimbangan alam, identitas, dan keberlanjutan hidup masyarakat.
Referensi
Jurnal
Putri, Sitta Nabilla Maisara Mulyono, et al. “Implikasi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 terhadap Eksistensi Hutan Adat Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang Tumpang Tindih dengan Hutan Konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak.” Diponegoro Law Journal 6, No. 2 (2017). Hlm. 4–5.
Sulaiman, Sulaiman, Muhammad Adli, dan Teuku Muttaqin Mansur. “Ketidakteraturan Hukum Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.” Jurnal Law Reform 15, No. 1 (2019). Hlm. 12–24.
Artikel Web
Ayal, Jimmy. “Menjaga sumber daya laut Maluku dengan tradisi Sasi.” Antara News. Tersedia pada: https://ambon.antaranews.com/berita/125553/menjaga-sumber-daya-laut-maluku-dengan-tradisi-sasi. Diakses pada 15 September 2025.
Zarina, Berlian, dan Muhammad Hilal. “Menjaga Budaya, Menjaga Alam Semesta: Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Keberlanjutan Lingkungan.” Megashift Fisipol UGM. Tersedia pada: https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2024/09/30/menjaga-budaya-menjaga-alam-semesta-peran-masyarakat-adat-dalam-menjaga-keberlanjutan-lingkungan/. Diakses pada 15 September 2025.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Ingin Jadi Advokat Profesional? Ini 6 Langkah Krus...
29 May 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/202...
21 July 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →
Prabowo: Indonesia Akui Diplomasi dengan 1srael Ji...
28 May 2025
Waktu Baca: 1 menit
Baca Selengkapnya →