Tahukah Anda bahwa mulai 2 Februari 2026, dokumen lama seperti girik, letter C, petok D, atau surat tanah adat tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan tanah? Banyak orang salah paham dan mengira yang tidak berlaku adalah sertifikat tanah yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal, sertifikat resmi BPN tetap sah danang dihapus pengakuannya adalah alas hak lama yang selama ini masih banyak dipegang masyarakat, khususnya di daerah. 


Bagaimana aturan hukum mengenai kebijakan digitalisasi pertanahan dalam perspektif Hukum Administrasi Negara?


Memahami Kebijakan Digitalisasi Pertanahan

Kebijakan digitalisasi pertanahan merupakan kebijakan yang dirancang oleh pemerintah untuk mendaftarkan kepemilikan hak atas tanah dari dokumen lama (girik, letter C, petok D, dll) menjadi sebuah sertifikat. Sertifikat ini nantinya akan menjadi satu satunya alat bukti yang memiliki legitimasi kepemilikan hak atas tanah.


Dalam penerapannya, kebijakan ini ditujukan untuk melakukan transformasi digital dalam bidang administrasi pertanahan agar lebih mudah untuk diakses oleh masyarakat. Proses digitalisasi ini melibatkan integrasi teknologi informasi, komputer, komunikasi, dan konektivitas serta bertujuan untuk membawa perubahan substansial dalam cara administrasi pertanahan dilakukan, termasuk dalam mencegah terjadinya pemalsuan dokumen tanah.


Pada tanggal 20 Juni 2023, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional memberlakukan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah (Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 3 Tahun 2023). Peraturan ini dirancang untuk mengatasi tuntutan hukum masyarakat yang berkembang dan memfasilitasinya dengan modernisasi tujuan layanan pertanahan. 


Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Aturan tersebut menegaskan bahwa masyarakat diberi waktu 5 tahun untuk mendaftarkan dokumen lama agar dikonversi menjadi sertifikat. Setelah melewati batas waktu, dokumen lama hanya dianggap sebagai petunjuk, bukan bukti kepemilikan yang sah. 


Tidak hanya itu, pemerintah juga menerapkan sistem sertifikat elektronik yang lebih aman, modern, dan mudah diverifikasi. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 3 Tahun 2023 yang mengatur teknis penerbitan sertifikat elektronik, tanda tangan digital, hingga QR code untuk memastikan keaslian.


Tinjauan kebijakan dalam perspektif HAN

Dalam perspektif hukum administrasi negara, kebijakan transformasi digital melalui penerapan sertifikat elektronik tidak dapat hanya dipandang sebagai inovasi teknis di bidang layanan publik, tetapi harus dipahami sebagai instrumen hukum yang mereposisi relasi antara negara dan warga negara dalam konteks pengelolaan hak atas tanah. 


Selama berdekade, keberadaan dokumen lama seperti girik atau letter C memang diakui secara sosial, tetapi secara yuridis menyimpan banyak kerentanan. Ketiadaan standar administratif, potensi duplikasi dokumen, serta kelemahan verifikasi kerap melahirkan sengketa tanah yang berlarut-larut dan bahkan dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah.


Oleh karena itu, sertifikat elektronik hadir untuk menutup celah tersebut dengan membangun sistem pembuktian yang seragam, terintegrasi, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kerangka Hukum Administrasi Negara, langkah ini merupakan bentuk implementasi asas legalitas dan asas kepastian hukum yang diwujudkan melalui digitalisasi administrasi. 


Dengan mengkonsolidasikan seluruh bentuk bukti kepemilikan ke dalam satu format yang diakui negara, maka otoritas administratif berfungsi tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai penjamin keadilan administratif. Kebijakan ini juga merefleksikan penerapan asas transparansi dan akuntabilitas, karena melalui sistem elektronik, setiap transaksi hukum atas tanah terekam secara digital, dapat diaudit, dan sulit dimanipulasi.


Namun demikian, penguatan kepastian hukum melalui sertifikat elektronik tidak boleh mengabaikan prinsip perlindungan hak warga negara yang sudah lama menggantungkan kepemilikannya pada dokumen tradisional. Di sinilah Hukum Administrasi Negara menuntut adanya due process yang inklusif, yaitu negara wajib menyediakan prosedur transisi yang mudah diakses, murah, dan tidak diskriminatif. 


Dengan demikian, kebijakan ini baru benar-benar memenuhi prinsip-prinsip hukum administrasi negara apabila ia tidak hanya menghadirkan kepastian hukum dalam teks regulasi, tetapi juga dalam praktik implementasi yang berkeadilan sosial.


Bagaimana cara mendaftarkan dokumen kepemilikan tanah menjadi sertifikat?

Tahap pendaftaran tanah dari dokumen lama seperti girik, letter C, atau petok hingga menjadi sertifikat elektronik pada dasarnya terdiri dari beberapa langkah yang saling berkaitan, yakni sebagai berikut:


1) Pertama, pemohon mengajukan permohonan ke kantor pertanahan dengan membawa dokumen kepemilikan lama beserta dokumen pendukung, antara lain identitas diri, surat keterangan asal-usul tanah dari desa atau kelurahan, dan bukti pembayaran pajak. Selanjutnya dilakukan penelitian administratif dan yuridis oleh petugas untuk memastikan keabsahan dokumen, riwayat kepemilikan, dan ada tidaknya sengketa.


2) Tahap berikutnya adalah pengukuran dan pemetaan bidang tanah oleh petugas BPN untuk menentukan batas, luas, serta posisi tanah sesuai peta kadaster digital. Data hasil ukur kemudian diumumkan di desa atau kelurahan selama jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan bagi pihak lain menyampaikan keberatan. Masa pengumuman ini merupakan bentuk keterbukaan dan due process agar keputusan administratif tidak menimbulkan ketidakadilan.


3) Apabila tidak terdapat keberatan yang sah, kantor pertanahan menetapkan hak atas tanah dan menerbitkan sertifikat. Saat ini, sertifikat yang diterbitkan langsung berbentuk sertifikat elektronik, dengan data yuridis dan fisik tersimpan dalam sistem Kementerian ATR/BPN serta dilengkapi tanda tangan elektronik tersertifikasi. Pemilik tanah juga dapat meminta salinan resmi berbasis kertas dengan ciri keamanan khusus dan QR code untuk verifikasi. Dengan tahapan ini, negara memastikan peralihan dari bukti lama menuju sistem pembuktian modern yang lebih transparan, akuntabel, dan berkekuatan hukum penuh.



Kesimpulannya, kebijakan konversi dokumen lama menjadi sertifikat elektronik merupakan wujud nyata peran hukum administrasi publik dalam mengatur dan menata hubungan antara negara dan warga negara dalam bidang pertanahan. Proses verifikasi, pengukuran, pengumuman, dan penerbitan sertifikat elektronik mencerminkan penerapan asas legalitas, keterbukaan, akuntabilitas, serta perlindungan kepercayaan yang sah.

Referensi 

Buku

Reza, Kurnia. Transformasi Digital Kementerian Agraria dan Tata Ruang: Hak Tanggungan Elektronik. Yogyakarta: Selat Media Partners, 2023.

Jurnal Ilmiah

Reza, Kurnia. "Analisis Transformasi Digital Layanan Publik Pertanahan: Hak Tanggungan Elektronik pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang." Jurnal Administrasi Publik No.1 Vol XIX (2023), Hlm. 26-49.

Habibi, Sukma, Trisnawati, Wulandari. "Transformasi Digital Administrasi Pertanahan: Implementasi dan Tantangan Sertipikat Elektronik di Indonesia." Rio Law Jurnal No. 2 Vol I (2025).

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, PP Nomor 18 Tahun 2021, LN Tahun 2021 No. 28, TLN No. 6630.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Tentang Dokumen Elektronik dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah, Permen ATR/BPN Nomor 3 Tahun 2023.