
Sumber: Freepik
DPR RI Dorong Legitimasi Kasino: Solusi Fiskal atau Bencana Moral?
Pendahuluan
Johan Huizinga, seorang sejarawan Belanda, memperkenalkan konsep homo ludens yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang menjadikan permainan, hiburan, dan perayaan sebagai bagian integral dari kebudayaannya. Dalam konteks ini, masyarakat Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tidak terkecuali. Salah satu contoh manifestasi konsep ini dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah dengan perjudian.
Sepanjang sejarahnya, Indonesia pernah membuka ruang bagi legalisasi perjudian. Salah satu contoh yang menonjol terjadi pada masa Gubernur Ali Sadikin (1966–1977), yang melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 805/A/k/BKD/1967 melegalkan praktik perjudian guna mendanai pembangunan ibu kota. Ini terlihat di Jakarta semasa Gubernur Ali Sadikin muncul undian lotre yang diberi nama Toto dan Nalo (nasional notre) kemudian yang terlokalisasi dalam bentuk kasino. Langkah ini diambil sebagai strategi untuk menambah pemasukan daerah, mengingat anggaran pembangunan Jakarta saat itu hanya sekitar Rp 66.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), jumlah yang terbilang kecil untuk kota sebesar Jakarta saat itu.
Melalui legalisasi perjudian, Pemprov DKI Jakarta berhasil menghimpun pemasukan hingga Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) per tahun yang jika dikonversikan setara dengan sekitar Rp 60 triliun dalam nilai kurs saat ini. Dana ini kemudian digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur publik seperti sekolah, jalan, dan fasilitas umum lainnya.
Pada masa Orde Baru, praktik serupa kembali muncul dalam bentuk kupon undian berhadiah, yaitu Porkas (Pekan Olahraga Ketangkasan), yang difungsikan sebagai sarana pendanaan olahraga, khususnya sepak bola Galatama. Namun pada 1993, pemerintah menghentikan seluruh bentuk perjudian legal. Meskipun demikian, praktik perjudian tidak sepenuhnya lenyap. Ia justru bertransformasi menjadi lebih canggih dan tersembunyi. Pada tahun 2000, Kompas mencatat bahwa Indonesia menjadi pasar taruhan terbesar di Asia, dengan nilai taruhan Euro 2000 di Jakarta mencapai Rp1,8 triliun.
Pembahasan
Apabila merujuk pada hukum positif yang berlaku di Indonesia, praktik perjudian dilarang dalam Pasal 303 dan 303 bis KUHP dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (UU Perjudian). Dalam konteks ius constituendum, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) juga mengatur perihal larangan perjudian, tepatnya dalam Pasal 426 KUHP Nasional yang mengancam pidana bagi setiap orang yang menawarkan, memberi kesempatan, atau menjadikan perjudian sebagai mata pencaharian, dengan ancaman pidana penjara hingga 9 tahun atau pidana denda hingga kategori VI yang setara dengan Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 427 KUHP Nasional juga mengancam pidana bagi setiap orang yang ikut serta dalam perjudian tanpa izin, dengan ancaman pidana penjara hingga 3 tahun atau pidana denda kategori III yang setara dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Meskipun Pasal 14 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah masih memberikan dasar hukum untuk pengenaan pajak atas izin penyelenggaraan perjudian, ketentuan tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai bentuk legitimasi praktik perjudian. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, memang menjadi kerangka hukum perpajakan nasional yang relevan. Namun, regulasi tersebut tidak cukup kuat untuk menjadi dasar legitimasi kasino tanpa terlebih dahulu meninjau ulang dan menetapkan kembali norma pidana yang berlaku.
Pengalaman masa lalu, yakni pada era Gubernur Ali Sadikin (1966–1977), menunjukkan bahwa legitimasi perjudian secara terbatas mampu memberikan kontribusi fiskal yang signifikan terhadap pembangunan daerah. Namun, kondisi hukum dan sosial saat ini telah banyak berubah terutama sejak disahkannya KUHP Nasional yang secara eksplisit melarang praktik perjudian.
Meski demikian, wacana terkait legitimasi kasino kembali mencuat dalam rapat kerja antara Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR RI pada 8 Mei 2025. Hal ini disampaikan oleh anggota Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita yang mengusulkan agar Indonesia meniru Arab Saudi yang mengoperasikan kasino sebagai salah satu sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam forum tersebut, Galih menyatakan bahwa Uni Emirat Arab (UEA), yang sama-sama bergantung pada sumber daya alam, kini tengah merambah ke sektor jasa (termasuk kasino) sebagai upaya mengurangi ketergantungan fiskal pada minyak dan gas.
Penolakan terhadap gagasan ini datang dari berbagai lini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis menegaskan bahwa menegaskan bahwa wacana tersebut akan melegitimasi keberadaan kasino yang merupakan salah satu jenis perjudian yang mana bertentangan dengan UU Perjudian. Selain itu, wacana legitimasi terhadap kasino di Indonesia juga bertentangan dengan norma agama dan norma sosial yang selama ini mengakar kuat pada kehidupan masyarakat.
Lebih lanjut, pernyataan serupa disuarakan oleh Anggota Komisi III DPR RI Hasbiallah Ilyas dan beberapa anggota DPRD DKI Jakarta seperti Lukmanul Hakim yang menyatakan bahwa legitimasi kasino melanggar nilai-nilai yang diamanatkan oleh Pancasila, konstitusi, yang apabila ditelaah secara lebih lanjut berpotensi menimbulkan dampak sosial negatif yang lebih besar dibanding manfaat fiskalnya.
Meskipun negara seperti UEA melegitimasi kasino untuk kepentingan ekonomi, kondisi tersebut tidak dapat diterapkan di Indonesia tanpa adaptasi hukum dan sosial yang komprehensif. Menyikapi wacana tersebut, usulan Komisi XI dipandang tidak hanya inkonsisten dengan kerangka hukum saat ini, tetapi juga berpotensi memicu polemik panjang tentang amandemen undang‑undang, pengaturan zonasi, dan mekanisme pengawasan yang belum jelas.
Legitimasi kasino di Indonesia berpotensi memicu beberapa dampak sebagai berikut:
Aktivisme Sosial dan Penolakan Agama
Legitimasi kasino dapat memicu gelombang aktivisme sosial, khususnya dari kelompok masyarakat yang beragama Islam. MUI dan Fraksi PKS di DPR telah menyatakan penolakan tegas dengan alasan kasino bertentangan dengan syariat dan nilai moral bangsa. Tekanan publik ini dapat memperburuk legitimasi kebijakan dan menimbulkan konflik horizontal.
Polemik Pembatalan Norma Pelarangan dalam KUHP Baru
Dengan berlakunya KUHP Nasional pada 3 Juni 2026 ke depannya, ketentuan larangan perjudian akan berpindah dari Pasal 303 dan 303 bis KUHP lama dan UU Perjudian ke Pasal 426 dan Pasal 427 KUHP Nasional. Legitimasi kasino menuntut mekanisme pembatalan atau pengecualian norma tersebut yang berpotensi menimbulkan permasalahan konstitusional serta tuntutan uji materi di Mahkamah Konstitusi yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum.
Meningkatnya Risiko Korupsi dan Gratifikasi
Izin operasi kasino yang melibatkan nilai investasi dan omzet yang sangat besar, menimbulkan risiko tinggi terjadinya korupsi serta gratifikasi. Kasus dugaan pencucian uang dan korupsi izin di eks-DPD menunjukkan modus aliran dana dalam jumlah besar dalam industri perjudian. Dalam budaya hukum Indonesia yang masih rentan, pengelolaan fasilitas kasino tanpa sistem pengawasan yang kuat dan transparan dapat membuka peluang penyalahgunaan wewenang pejabat.
Penutup
Meskipun legitimasi terbatas perjudian di masa lalu terbukti bermanfaat secara fiskal, dalam perspektif hukum dan sosial Indonesia saat ini tidak mendukung kebijakan serupa. Pasal-pasal dalam KUHP Nasional secara tegas melarang perjudian, dan nilai-nilai sosial-religius masyarakat Indonesia sangat menolak praktik tersebut. Pengalaman negara lain tidak dapat dijadikan rujukan langsung tanpa kajian hukum dan sosial yang menyeluruh. Oleh karena itu, legitimasi kasino saat ini tidak feasible secara hukum dan politik. Pemerintah perlu mencari alternatif penerimaan negara yang sejalan dengan prinsip Pancasila dan supremasi hukum.
Konsep homo ludens yang diperkenalkan oleh Johan Huizinga menggambarkan manusia sebagai makhluk yang gemar bermain, dan dalam konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam praktik perjudian. Sejarah mencatat legalisasi terbatas perjudian pada masa Gubernur Ali Sadikin demi membiayai pembangunan Jakarta, namun sejak 1993 semua bentuk perjudian resmi dilarang. Saat ini, hukum positif Indonesia, termasuk KUHP Nasional yang berlaku mulai 2026, secara tegas melarang segala bentuk perjudian dengan ancaman pidana berat. Meski wacana legalisasi kasino sempat muncul dalam forum DPR dengan dalih potensi fiskal seperti di Uni Emirat Arab, usulan tersebut mendapat penolakan luas dari masyarakat, tokoh agama, dan legislatif karena bertentangan dengan norma hukum, nilai religius, dan sosial. Legitimasi kasino dinilai berpotensi memicu konflik horizontal, tantangan konstitusional, dan risiko korupsi tinggi. Oleh karena itu, dalam kondisi hukum dan sosial saat ini, legalisasi kasino dinilai tidak layak (feasible), dan pemerintah disarankan mencari sumber penerimaan negara yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip negara hukum.
Referensi
Buku
Ramadhan, K.H. Pers Bertanya “Bang Ali Menjawab”. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995.
Jurnal
Lumaksono, Wahyu, dan Anik Andayani. "Legalisasi Porkas Dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Pada Tahun 1985-1987." AVATARA: E-Journal Pendidikan Sejarah 2. No. 3 (2014). Hlm. 540-549.
Raessens, Jozef Frederik Ferdinand. "Homo ludens 2.0 the ludic turn in media theory." (2012). Hlm. 12.
Widyaningrum, Paramita "Peranan Ali Sadikin Dalam Pembangunan Kota Jakarta Tahun 1966-77." Candi 5, No. 1 (2013). Hlm. 9
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 1946, sebagaimana telah oleh UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, LN Tahun 2023 No. 1 TLN No. 6842.
Undang-Undang tentang Penertiban Perjudian, UU Nomor 7 Tahun 1974, sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, LN Tahun 2023 No. 1 TLN No. 6842.
Undang-Undang Darurat tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, UU Nomor 11 Tahun 1957 LN Tahun 1957 No. 56 TLN No. 1287.
Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU Nomor 7 Tahun 2021 sebagaimana diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang LN Tahun 2023 No, 41 TLN No. 6856.
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Belajar dari Film Hacksaw Ridge: Apa itu Conscient...
02 May 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Mau Pakai Gambar Ghibli? Pahami Dulu Hak Ciptanya!
05 May 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →