
Sumber: Dedy Kurniardi & Co Lawyers
Menelisik Pertanggungjawaban Pidana dan Perdata PT Wilmar atas Dugaan Kejahatan Ekspor CPO
Latar Belakang
Skandal ekspor crude palm oil (CPO) pada tahun 2022 mengguncang tata kelola industri kelapa sawit nasional. Di tengah krisis minyak goreng dan kebijakan larangan ekspor yang diberlakukan pemerintah, sejumlah perusahaan besar diduga mengakali aturan demi meraup keuntungan. Salah satunya adalah PT Wilmar Group, yang disebut-sebut dalam berbagai pemberitaan sebagai bagian dari penyidikan Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dan pemberian fasilitas ekspor CPO. Penanganan kasus ini membuka ruang diskusi mengenai pertanggungjawaban hukum korporasi, baik secara pidana maupun perdata, yang dilakukan oleh atau atas nama perusahaan.
Fakta Kasus PT Wilmar
Pada pertengahan 2025, Kejaksaan Agung mengumumkan penyitaan dana sebesar Rp11,88 triliun yang dikembalikan oleh lima entitas anak perusahaan dalam struktur PT Wilmar Group. Pengembalian ini berkaitan dengan dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO selama periode Januari 2021 hingga Maret 2022. Selain itu, Muhammad Syafei, Kepala Tim Hukum Wilmar, ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap senilai Rp60 miliar untuk memperoleh putusan ontslag (lepas dari segala tuntutan hukum) bagi perusahaan dalam perkara pidana ekspor CPO di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Fakta ini menunjukkan adanya peran aktif dari representasi korporasi dalam rangka menghindari sanksi hukum dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Dasar Hukum Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pertanggungjawaban pidana korporasi diatur secara eksplisit dalam beberapa ketentuan berikut:
Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan sanksi pidana dapat dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.”
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
“Apabila tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, pidana yang dijatuhkan hanya pidana denda maksimum ditambah sepertiganya.”
Putusan No. 861 K/Pid.Sus/2010
Dalam praktiknya, Mahkamah Agung menegaskan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana meskipun pelaku langsung adalah individu, selama tindakan dilakukan dalam lingkup aktivitas korporasi.
Dasar Hukum Pertanggungjawaban Perdata
Selain pidana, korporasi juga dapat dituntut secara perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi:
"Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut."
Berdasarkan dasar hukum tersebut, negara dan masyarakat yang dirugikan akibat manipulasi kebijakan ekspor dapat mengajukan gugatan perdata terhadap PT Wilmar untuk mengganti kerugian materiil dan immateriil yang diderita.
Analisis Hukum
Secara pidana, pengembalian dana oleh anak perusahaan Wilmar Group tidak serta-merta menghapus dugaan kejahatan. Konsep vicarious liability menyatakan bahwa tindakan individu dalam kapasitas jabatannya yang menguntungkan perusahaan dapat membebani korporasi dengan tanggung jawab pidana. Hal ini sejalan dengan identification theory yang menghubungkan kehendak pelaku dengan kehendak perusahaan.
Secara perdata, pengembalian uang negara dapat dipandang sebagai pemenuhan sebagian kewajiban hukum, tetapi tidak menutup kemungkinan diajukannya gugatan tambahan atas kerugian reputasional sebagai bagian dari kerugian immateriil. Dalam konteks ini, adagium "Nemo plus iuris ad alium transferre potest quam ipse habet" (tidak seorang pun dapat mengalihkan hak lebih dari yang dimilikinya) mengingatkan bahwa negara berhak menuntut pemulihan penuh atas kerugian akibat perbuatan melawan hukum.
Lebih lanjut, adagium "Actio personalis moritur cum persona" (tindakan pribadi mati bersama pelakunya) tidak berlaku bagi karena korporasi merupakan badan hukum yang memiliki tanggung jawab melekat secara berkelanjutan, meskipun pengurusnya telah berganti.
Penutup
Kasus PT Wilmar Group menjadi preseden penting dalam memperkuat komitmen penegakan hukum terhadap korporasi. Negara tidak boleh berhenti pada penyitaan aset semata, tetapi perlu menuntaskan proses pidana agar efek jera tercipta. Dengan dukungan regulasi dan preseden hukum yang telah ada, aparat penegak hukum memiliki landasan kuat untuk memproses pertanggungjawaban pidana dan perdata korporasi. Penegakan hukum yang menyentuh korporasi besar seperti Wilmar Group menjadi langkah penting dalam membangun ekosistem bisnis yang berintegritas.
Demikian artikel mengenai “Menelisik Pertanggungjawaban Pidana dan Perdata PT Wilmar atas Dugaan Kejahatan Ekspor CPO” semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis
Skandal ekspor crude palm oil (CPO) tahun 2022 yang melibatkan PT Wilmar Group mengungkap praktik manipulasi aturan di tengah krisis minyak goreng nasional, termasuk dugaan suap senilai Rp60 miliar untuk memperoleh putusan bebas dari tuntutan hukum. Meskipun lima entitas anak perusahaan Wilmar telah mengembalikan dana sebesar Rp11,88 triliun, hal ini tidak menghapus dugaan pidana karena berdasarkan prinsip vicarious liability dan identification theory, tindakan individu dalam kapasitas korporasi tetap membebani perusahaan secara hukum. Pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam UU Tipikor, sedangkan tanggung jawab perdata merujuk pada Pasal 1365 KUH Perdata yang memungkinkan negara dan masyarakat menggugat kerugian materiil dan immateriil. Penanganan kasus ini menjadi preseden penting bahwa penyitaan aset bukan akhir dari proses hukum, dan penegakan hukum terhadap korporasi besar diperlukan untuk menegakkan integritas sistem hukum dan tata kelola bisnis di Indonesia.
Referensi
Redaksi InfoSAWIT, "Skandal Suap Kasus CPO, Satya Bumi Kecam Bobroknya Tata Kelola Industri Sawitzz", Info SAWIT, 20 Januari 2025, tersedia pada https://www.infosawit.com/2025/04/17/skandal-suap-kasus-cpo-satya-bumi-kecam-bobroknya-tata-kelola-industri-sawit/, diakses pada tanggal 20 Juni 2025.
Tiara Amanda Putri, "Tindak Pidana Korporasi Dan Pertanggungjawabannya", HUKUM ONLINE.COM, 6 Maret 2023, tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/tindak-pidana-korporasi-dan-pertanggungjawabannya-lt5a5ecc109ea26/, diakses pada tanggal 20 Juni 2025.
NOV/ASH, "Disparitas Sanksi Pidana Korporasi Di Berbagai UU", HUKUM ONLINE.COM, 8 Agustus 2024, tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/disparitas-sanksi-pidana-korporasi-di-berbagai-uu-lt58875313748b9/, diakses pada tanggal 20 Juni 2025.
Rodiyilah, "Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Crime) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia", Journal Kompilasi Hukum 50, No. 1 (2021), hlm. 112.
WAGINO, "Tinjauan Terhadap Gugatan Perbuatan Melawan Hukum", DJKN Kemenkeu, 1 Oktober 2024, tersedia pada https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14384/Tinjauan-terhadap-Gugatan-Perbuatan-Melawan-Hukum.html, diakses pada tanggal 20 Juni 2025.
Jihan Ristiyanti, "Sah Atau Tidak Penyitaan Rp 11,8 Triliun Dari Wilmar", TEMPO, 2 Februari 2024, tersedia pada https://www.tempo.co/hukum/uang-sita-jaminan-wilmar-group-11-triliun-1749418, diakses pada tanggal 20 Juni 2025.
Sarwo Saddam, "Praktisi Hukum: Pengembalian Rp11,8 Triliun Oleh Wilmar Tak Hapus Unsur Pidana, Pasal 4 UU Tipikor Berlaku Tegas", Andalan.Co, 8 September 2024, tersedia pada https://andalan.co/detail/4789/praktisi-hukum-pengembalian-rp118-triliun-oleh-wilmar-tak-hapus-unsur-pidana-pasal-4-uu-tipikor-berlaku-tegas, diakses pada tanggal 20 Juni 2025.
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Ini Dia Perbedaan Hukum Militer dengan Hukum Pidan...
30 April 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Justice Collaborator: Kerja Sama antara Penyidik d...
29 June 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →
7 Adagium Favorit Anak Hukum! Bisa Dipake di Bio d...
02 May 2025
Waktu Baca: 1 menit
Baca Selengkapnya →