
Sumber: Liputan6.com
Amerika Serikat Resmi Luncurkan Serangan ke Iran, Perang Dunia ke-3 di Ambang Mata?
Jakarta - Konflik bersenjata antara Iran dan Israel memasuki fase yang paling berbahaya setelah Amerika Serikat meluncurkan serangan nuklir terhadap Iran. Keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam konflik ini menyebabkan eskalasi yang signifikan di wilayah Timur Tengah, yang sebelumnya telah memanas karena perang yang terjadi di Teheran dan Tel Aviv.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, AS melancarkan serangannya di tiga lokasi nuklir yang berada di Fordow, Natanz, dan Esfahan. Namun AS memfokuskan serangannya di Fordow. Selain itu, keputusan itu sekali lagi melibatkan militer Amerika dalam konflik aktif di Timur Tengah, sesuatu yang Trump janjikan akan dihindari selama masa jabatannya. Hal ini juga yang membuat perubahan besar terhadap keputusan AS sebelumnya yang akan mempertimbangkan selama kurang lebih 2 minggu untuk keikutsertaannya dalam menangani konflik dua negara tersebut, apakah akan diselesaikan secara diplomatis atau konflik bersenjata.
Dilansir dari antaranews.com, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa mereka telah melakukan serangan yang sukses terhadap Iran. Akan tetapi pernyataan ini dianggap sebagai deklarasi perang yang menggugurkan harapan akan tercapainya diplomasi. Khatibzadeh selaku Wakil Menteri Luar Negeri Iran menegaskan bahwa konflik Iran dan Israel “bukanlah perangnya Amerika”. Sehingga jika Trump turut serta, dia akan diingat sebagai presiden yang ikut campur dalam perang yang bukan urusannya.
Keterlibatan AS secara langsung dalam serangan yang terjadi antara Iran-Israel dilakukan dengan menggunakan pengebom siluman dan bom penghancur bunker milik AS seberat 30.000 pon dan menawarkan peluang terbaik untuk menghancurkan situs-situs yang dijaga ketat dan terhubung dengan program nuklir Iran yang terkubur jauh di bawah tanah. Trump menyatakan, "Tak ada militer di dunia yang mampu melakukan ini. Sekarang adalah waktunya perdamaian”, dikutip dari akun Instagram resminya. Pernyataan tersebut menunjukkan arogansi Trump yang membanggakan kekuatan militer di tengah ketegangan global dan mengklaim dirinya sebagai pembawa damai setelah melakukan serangan dengan skala besar.
Serangan udara oleh AS ini tidak hanya mengguncang geopolitik tetapi mengguncang politik tentang tindakan Trump yang memunculkan serangan tanpa adanya persetujuan kongres. Regulasi yang mengatur hal ini yaitu War Power Acts tahun 1973 yang dirancang untuk mencegah Presiden bertindak sendirian.
Namun, dalam kenyataannya peraturan ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya dan tidak ada satupun Presiden yang menganggapnya sebagai pembatas yang mutlak. Anggota Partai Demokrat Ro Khanna menyerukan sidang darurat untuk mengesahkan War Powers Solutions, yang membatasi kemampuan presiden untuk memaksa AS ke dalam perang tanpa persetujuan legislatif, dan menyebut serangan itu sebagai tindakan tanpa otorisasi Kongres.
Selain seruan untuk memunculkan regulasi baru, Senator Bernie Sanders sudah mengajukan rancangan Undang-Undang yang membatasi dana perang ke Iran. Akan tetapi hal itu tidak menghentikan Trump untuk tetap melancarkan perang. Serangan yang dilakukan AS ini hanyalah sebuah klaim yang dilakukan demi mencegah ancaman nuklir, ini adalah narasi yang sama dengan dalih invasi Irak pada tahun 2003.
Badan Energi Atom Iran (AEOI) mengecam serangan tersebut dan menganggapnya sebagai pelanggaran terbuka terhadap hukum internasional, termasuk Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT), yang merupakan dasar kerja sama nuklir sipil di seluruh dunia.
AEOI menyatakan bahwa "kembalinya aturan hutan" dalam politik global ditunjukkan oleh serangan ini. Serangan ke situs sipil yang terdaftar di bawah perjanjian internasional melanggar hukum dan menciptakan preseden berbahaya. “Komunitas internasional harus mengecam tindakan anarkis ini,” kata mereka, menegaskan bahwa Iran akan mengikuti jalur hukum di forum-forum global.
Serangan nuklir Amerika Serikat ke Iran memicu eskalasi konflik Timur Tengah dan menunjukkan potensi masa depan diplomasi global. Ketika negara yang kuat melanggar hukum internasional secara terang-terangan, keadilan runtuh dan pihak-pihak yang selama ini bertentangan muncul. Sejarah menunjukkan bahwa ketika hukum tidak melindungi yang lemah, mereka akan belajar melawan dengan kekuatan mereka sendiri. Jika keadaan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dunia akan menghadapi krisis yang lebih besar daripada konflik regional.
Penulis: Septy Amelia Handayani
Editor: Rahma Ardana Fara Aviva
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Wajah Lama, Tantangan Baru: Bimo dan Djaka di Ujun...
21 May 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Apa Sebenarnya Residivis? Fakta yang Perlu Kamu Ta...
15 April 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →