
Sumber: BBC News
Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon Soal Pemerkosaan Mei 1998: "Hanyalah Rumor Tanpa Bukti"
Jakarta – Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kecaman luas usai menyebut pemerkosaan massal dalam Kerusuhan Mei 1998 hanyalah rumor tanpa bukti. Dalam wawancara dengan jurnalis Uni Lubis yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada Rabu, 11 Juni 2025, Fadli menyatakan, “Ada pemerkosaan massal? Betul enggak, ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada.”
Pernyataan tersebut memicu respons keras dari berbagai kalangan. Aktivis perempuan sekaligus sejarawan, Ita Fatia Nadia, menyebut pernyataan Fadli sebagai “sebuah dusta” dan bentuk penyangkalan terhadap fakta sejarah. Dalam konferensi pers daring yang digelar pada Jumat, 13 Juni, Ita menegaskan bahwa data kekerasan seksual dalam peristiwa 1998 terdokumentasi dengan baik dan tidak bisa diabaikan begitu saja.
Ita merujuk pada laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah setelah reformasi, yang mencatat sedikitnya 52 korban pemerkosaan, 14 kasus disertai penganiayaan, serta bentuk kekerasan seksual lainnya. “Saya dan relawan lainnya kewalahan menangani banyaknya pemerkosaan di Jakarta pada Mei 1998,” ujarnya, sebagaimana dilaporkan Kompas.com dan BBC Indonesia.
Kecaman serupa juga datang dari Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas. Dalam siaran pers yang dimuat oleh Tempo.co, juru bicara Koalisi, Jane Rosalina Rumpia, menyebut pernyataan Fadli sebagai bentuk manipulasi dan pengaburan sejarah. “Kami menilai pernyataan tersebut merupakan tindakan manipulatif terhadap masyarakat Indonesia,” ujarnya. Koalisi juga mendesak agar Fadli mencabut ucapannya dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada para penyintas dan keluarga korban.
Aktivis HAM Kamala Chandrakirana turut menyoroti pernyataan Fadli sebagai bagian dari budaya penyangkalan yang telah mengakar selama hampir tiga dekade. Dalam konferensi pers yang diliput BBC Indonesia, Kamala menyatakan bahwa sikap tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih enggan mengakui kekerasan terhadap perempuan sebagai persoalan serius. “Jika peristiwa ini dihapus dari penulisan ulang sejarah nasional, maka sejarah kita akan kehilangan keabsahannya,” katanya.
Seperti diberitakan BBC Indonesia, draf kerangka konsep sejarah nasional yang sedang disusun oleh Kementerian Kebudayaan di bawah Fadli Zon disebut tidak memuat sejumlah pelanggaran HAM berat, termasuk pemerkosaan Mei 1998, penghilangan paksa, dan pembantaian 1965. Hal ini menambah kekhawatiran publik akan adanya upaya sistematis untuk menghapus bagian-bagian penting dari sejarah bangsa.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyawati Irianto, menilai penghapusan fakta sejarah kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk “penyesatan identitas bangsa”. Dalam wawancara yang dikutip dari Tempo, ia menyatakan, “Bangsa apa yang melupakan sejarahnya? Mereka tidak akan bisa membangun masa depan jika tidak memahami masa lalunya.”
Ita Fatia juga mengingatkan bahwa pembentukan Komnas Perempuan merupakan respon langsung atas kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan. Ia menjelaskan bahwa pada Oktober 1998, dirinya bersama 10 aktivis lainnya menyerahkan laporan langsung kepada Presiden B.J. Habibie, yang saat itu menyatakan percaya atas kejadian tersebut dan menyetujui pembentukan lembaga perlindungan perempuan melalui Keppres Nomor 181 Tahun 1998.
Sementara itu, Fadli Zon tetap bersikukuh. Ia menyatakan bahwa sejarah yang ditulis ulang oleh pemerintah saat ini ditujukan untuk mempersatukan bangsa, dengan mengedepankan “tone yang lebih positif”. “Kalau mau mencari-cari kesalahan, pasti ada. Tapi sejarah yang kita buat ini harus bisa mempersatukan,” ujar Fadli dalam wawancara tersebut, seperti disampaikan dalam laporan Kompas dan Tempo.
Namun bagi para penyintas dan pegiat HAM, penghapusan peristiwa gelap seperti pemerkosaan Mei 1998 bukanlah jalan menuju rekonsiliasi. “Menyangkal fakta adalah bentuk kekerasan kedua bagi para korban,” tegas Ita.
Penulis : Aldafi Prana Tantri
Editor : Windi Judithia
Baca Artikel Menarik Lainnya!

GRIB Jaya Kian Brutal, Bali Tegas Menolak, Pemerin...
13 May 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Apakah Subjek Hukum Internasional Hanya Negara?
13 June 2025
Waktu Baca: 7 menit
Baca Selengkapnya →
Mengenal Jenis-Jenis Upaya Hukum dalam Hukum Pidan...
22 May 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →