Tanah memiliki nilai sosial serta ekonomi yang tinggi dalam masyarakat. Secara sosial, tanah digunakan sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan bersama berdasarkan prinsip keadilan, kemakmuran, dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Hal ini sesuai dengan asas fungsi sosial tanah yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA).Dari segi ekonomi, tanah adalah aset yang bernilai tinggi sehingga memberikan keuntungan ekonomis bagi pemiliknya, apalagi didukung dengan nilainya yang meningkat secara terus-menerus. Tak heran, tanah disebut sebagai investasi yang sangat menjanjikan sehingga orang berbondong-bondong untuk memiliki tanah.


Pengaturan mengenai tanah tercantum secara komprehensif dalam UUPA. Dalam undang-undang ini, diatur mengenai hak atas tanah, pendaftaran tanah, hingga penerbitan sertifikat atas tanah. Pasal 16 Ayat (1) UUPA mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang terdiri dari: hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hingga hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, seperti: hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah.


Hak milik atas tanah merupakan hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dimiliki seseorang yang mempunyai tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUPA. Namun, hak ini hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI) sehingga dapat disimpulkan bahwa warga negara asing (WNA) tidak boleh memiliki hak milik atas tanah.


Akan tetapi, pada prakteknya terdapat “kiat” bagi WNA agar tetap memiliki tanah di Indonesia, yaitu dengan melakukan perjanjian nominee dengan WNI. Apa sebenarnya perjanjian nominee? Apakah ini sah dilakukan? Simak pembahasannya!


Apa yang Dimaksud dengan Perjanjian Nominee?

Perjanjian nominee merupakan perjanjian antara dua pihak, yaitu WNI dengan WNA. Dalam perjanjian ini, WNI meminjamkan namanya untuk dicantumkan sebagai pemilik aset yang sebenarnya dimiliki oleh pihak WNA. Perjanjian nominee dikenal juga sebagai perjanjian pinjam nama.


Praktik ini marak terjadi akibat adanya celah hukum dalam sebuah perjanjian, di mana terdapat asas kebebasan berkontrak membuat seseorang dapat membuat perjanjian dengan siapa saja sehingga memunculkan praktik nominee. WNI yang dipinjamkan namanya akan mendapat imbalan finansial dari WNA. Di sisi lain, WNA dapat dengan mudah mendapatkan kepemilikan tanah di Indonesia melalui praktik ini. Perjanjian nominee bertentangan dengan Pasal 21 Ayat (1) UUPA yang secara tegas melarang WNA untuk mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia.


Praktik perjanjian nominee marak terjadi di Bali, mengingat Bali merupakan daerah yang sangat strategis bagi WNA untuk melakukan investasi atau memiliki properti. Warga lokal yang ditunjuk menjadi nominee akan mewakili kepentingan beneficiary dalam melakukan tindakan-tindakan khusus sesuai dengan yang diperjanjikan. Misalnya nominee yang akan mengurus segala administrasi terkait pertanahan.


Untuk merespons isu tersebut, Pemerintah Provinsi Bali akan melakukan rancangan terkait Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi prioritas pada tahun 2025 ini. Wakil Gubernur Bali, Giri Prasta menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Bali akan membuat rancangan perda baru bagi perjanjian nominee. Hal ini tentunya sebagai langkah untuk mengatasi penguasaan tanah oleh WNA secara nominee serta praktik penggelapan tanah yang merugikan masyarakat luas.


Bagaimana Keabsahan Perjanjian Nominee?

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal adanya perjanjian nominee sehingga tidak ada pengaturan tegas dan khusus mengenai perjanjian ini. Namun, apabila melihat dari akar perjanjian nominee, tentu hal tersebut didasari oleh adanya perjanjian atau kesepakatan antara dua pihak.


Di Indonesia, perjanjian sendiri diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Pasal ini mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua atau lebih pihak untuk menciptakan hak dan kewajiban.


Syarat sah mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: 

  1. Kesepakatan antara para pihak;
  2. Kecakapan untuk membuat perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Sebab yang halal.


Jika ditelaah lebih lanjut, terdapat frasa “sebab yang halal” dalam syarat sah perjanjian yang berarti bahwa perjanjian harus memiliki sebab atau tujuan yang sah dan tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, atau ketertiban umum.


Perjanjian nominee antara WNI dan WNA sejak awal disepakatinya sudah bertentangan dengan hukum yang ada, yaitu melanggar ketentuan Pasal 21 Ayat (1) UUPA dengan maksud untuk memiliki dan menguasai tanah di Indonesia melalui cara yang curang, yang dalam hal ini meminjam nama WNI agar terhindar dari segala prosedur legalitas yang ada.


Dalam hukum perjanjian, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif yakni suatu hal tertentu dan sebab yang halal, perjanjian tersebut batal demi hukum (void ab initio), artinya perjanjian dianggap tidak pernah terjadi. Berdasarkan perspektif tersebut,  perjanjian nominee seharusnya batal demi hukum dan dianggap tidak pernah terjadi sehingga perjanjiannya tidak sah atau keabsahan perjanjian ini nihil.


Sebenarnya, Apakah WNA juga Memiliki Hak atas Tanah di Indonesia?

WNA sebenarnya juga memiliki hak atas tanah di Indonesia. Tentunya hal ini dilengkapi dengan pembatasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 42 Huruf b UUPA, WNA memiliki hak pakai atas tanah dalam waktu maksimal 30 tahun yang dapat diperpanjang maksimal 20 tahun kemudian bisa diperbarui untuk jangka waktu maksimal 30 tahun. Hak pakai ini memungkinkan WNA untuk membangun rumah tinggal atau melakukan kegiatan lain yang diizinkan pada tanah selama masa berlaku hak pakai.


Kemudian, WNA juga memiliki hak sewa tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UUPA. Hak sewa ini digunakan ketika WNA mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Selain hak sewa, WNA juga memiliki hak milik atas satuan rumah susun (Sarusun) sebagaimana diatur dalam Pasal 144 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Cipta Kerja jo. Pasal 67 Ayat (1) Huruf c PP 18//2021.


Kesimpulan

Hak milik atas tanah merupakan hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang hanya dimiliki oleh WNI. Namun, WNA menggunakan perjanjian nominee (pinjam nama) agar memiliki hak milik secara tidak langsung. Perjanjian nominee bersifat tidak sah dan melanggar ketentuan Pasal 20 UUPA. WNA seharusnya menggunakan hak atas tanah yang memang ditujukan kepada mereka seperti hak pakai, hak sewa tanah, hak milik atas satuan rumah susun (Sarusun), serta hak lainnya yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Tanah memiliki nilai sosial dan ekonomi tinggi di Indonesia, dengan hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) sesuai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Namun, praktik perjanjian nominee—di mana WNI meminjamkan namanya agar Warga Negara Asing (WNA) bisa memiliki tanah—masih marak terjadi, terutama di daerah strategis seperti Bali. Meskipun perjanjian ini didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, secara hukum perjanjian nominee tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 21 Ayat (1) UUPA dan dianggap batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat “sebab yang halal”. WNA sebenarnya tetap dapat memiliki hak atas tanah secara sah melalui hak pakai, hak sewa, atau hak milik atas satuan rumah susun (Sarusun) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Referensi

Heteric, “Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” SASI 25 No. 1. Hlm. 27-36.

Muliantari, Ni Putu Putri. “Perda Bali Terkait ‘Nominee’ Jadi Prioritas Tahun Ini.” bali.antaranews.com. 6 Maret 2025. Tersedia pada https://bali.antaranews.com/berita/372173/perda-bali-terkait-nominee-jadi-prioritas-tahun-ini. Diakses pada 22 Mei 2025

Sandi, Eviera Paramita. “Marak Terjadi di Bali Padahal Dilarang, Apa Itu Praktik Nominee?” suara.com 5 Maret 2025. Tersedia pada mhttps://www.suara.com/news/2025/03/06/165922/marak-terjadi-di-bali-padahal-dilarang-apa-itu-praktik-nominee. Diakses pada 20 Mei 2025.

Sari, Ida Ayu Putu Widya Indah Sari. “Mengenal Praktik Perjanjian Nominee di Indonesia.” rri.co.id. 12 Maret 2025. Tersedia pada https://www.rri.co.id/denpasar/hukum/1382693/mengenal-praktik-perjanjian-nominee-di-indonesia.Diakses pada 21 Mei 2025.

Wahyono, Zakaria, Risyad, Bachri, Ahmad, Rahmatullah, P, “Kepemilikan Tanah oleh WNA dalam Perjanjian Nominee untuk Memiliki Tanah di Indonesia.” SYNERGY: Jurnal Ilmiah Multidisiplin 1 No. 3. (2023). Hlm. 119-126.