Latar Belakang

Konflik mengenai jual beli Sultan Ground adalah persoalan hukum yang kompleks di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sultan Ground adalah milik Kesultanan Yogyakarta yang memiliki status hukum khusus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disebut UU Keistimewaan DIY). Dalam perkembangannya, masalah ini sering terjadi akibat adanya perbedaan pendapat mengenai klasifikasi hak atas tanah serta keabsahan transaksi yang dilakukan oleh pihak tertentu. Sultan Ground adalah aset milik Kesultanan Yogyakarta yang memiliki status istimewa berdasarkan Pasal 32 Ayat (1) UU Keistimewaan DIY. Tanah ini tidak dapat diperjualbelikan secara bebas dikarenakan telah dimiliki dan dikelola oleh pihak Kesultanan, sehingga memiliki kekhususan dibandingkan tanah-tanah pada umumnya yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).


Bagaimana Regulasinya?

Mengacu pada UUPA, terdapat berbagai jenis hak atas tanah, seperti hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, dan hak sewa. Namun, Sultan Ground memiliki status khusus yang diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) UU Keistimewaan DIY, yang menjelaskan bahwa tanah tersebut adalah milik Kesultanan dan tidak dapat diperdagangkan secara bebas. Hal ini menjadikan jenis hak atas tanah yang berlaku pada Sultan Ground berbeda dengan tanah biasa yang diatur dalam UUPA.


Adakah Contoh Kasusnya?

Beragam insiden terkait sengketa jual beli Sultan Ground di Yogyakarta, seperti penggusuran pedagang kaki lima di area Sultan Ground dan sengketa tanah Stasiun Tugu antara Kesultanan dan PT Kereta Api Indonesia, menunjukkan bahwa penggunaan dan peralihan hak atas tanah tersebut harus dilakukan dengan izin serta pengakuan dari pihak Kesultanan. Peristiwa-peristiwa ini menandakan bahwa fenomena dari peralihan tanah tanpa izin resmi dari Kesultanan dianggap ilegal dan dapat dibatalkan menurut hukum yang berlaku.


Lantas Ada Hak Apa Saja dalam Sultan Ground?

Sultan Ground tidak bisa diperlakukan sama seperti tanah biasa yang dapat diperjualbelikan secara bebas karena keistimewaan statusnya sebagai tanah adat milik Kesultanan Yogyakarta. Kategori hak yang biasanya diberikan untuk penggunaan Sultan Ground adalah hak pakai dan hak sewa berdasarkan izin dari Kesultanan yang didapat melalui surat kekancingan atau anggada yakni surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah dari kesultanan/kadipaten untuk diberikan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang. Kegiatan jual beli Sultan Ground tanpa sepengetahuan pihak Kesultanan akan dianggap ilegal menurut hukum karena:

a. Hak Milik tidak dapat diberikan pada Sultan Ground, sehingga jelas tidak dapat diperjualbelikan sepenuhnya seperti tanah biasa.

b. Hak Pakai dan Hak Sewa bersifat sementara dan tergantung pada kontrak atau persetujuan dari pihak Kesultanan.

c. Menggunakan tanah secara terang terangan tanpa izin dari Kesultanan dapat berimplikasi pada pembatalan dan pengosongan melalui putusan pengadilan.


Sengketa yang sering terjadi akibat perbedaan pemahaman mengenai jenis hak atas tanah dan status Sultan Ground menimbulkan kerugian hukum bagi individu atau pihak yang telah melakukan pembelian tanah secara tidak sah.[6]


Pentingnya Memahami Regulasi Khusus

Sengketa mengenai jual beli Sultan Ground muncul akibat adanya perbedaan pengaturan antara jenis hak atas tanah yang diatur oleh UUPA dan status khusus Sultan Ground menurut Undang-Undang Keistimewaan DIY. Proses jual beli Sultan Ground yang dilakukan tanpa izin resmi dari Kesultanan Yogyakarta adalah tidak sah dan bisa dibatalkan. Oleh karenanya, pemahaman yang tepat mengenai jenis hak atas tanah dan status hukum Sultan Ground sangatlah penting demi menghindari terjadinya sengketa tanah.

Sengketa jual beli Sultan Ground di Yogyakarta merupakan persoalan hukum yang timbul akibat ketidaksesuaian pemahaman antara status khusus tanah milik Kesultanan Yogyakarta dan ketentuan umum dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Berdasarkan Undang-Undang Keistimewaan DIY, Sultan Ground tidak dapat diperjualbelikan secara bebas karena statusnya sebagai tanah adat Kesultanan yang hanya dapat digunakan melalui hak pakai atau hak sewa dengan izin resmi berupa surat kekancingan. Praktik jual beli tanpa seizin Kesultanan dianggap ilegal dan dapat dibatalkan secara hukum. Kasus-kasus seperti sengketa di Stasiun Tugu dan penggusuran di lahan Sultan Ground menunjukkan pentingnya pemahaman terhadap regulasi khusus ini untuk menghindari kerugian hukum dan konflik kepemilikan.

Referensi

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY, Pasal 32.

Abd Wahab M. Said, "Kekuatan Hukum Hak Atas Tanah Kesultanan Yang Dikuasai Masyarakat (Studi Di Kelurahan Patehan Kecamatan Keraton Kota Yogyakarta)", Jurnal Dinamika, Vol.28, No. 1 (2019), hlm 10.

Shenita Dwiyansany, Lita Tyesta Addy Listiya Wardhani, ‘Kepastian Dan Perlindungan Hukum Penggunaan Tanah Kasultanan Dan Kadipaten Oleh Masyarakat Pasca Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta’, Vol.1, No.2,  (2019) hlm. 228.

Anindya Putri Prameswari, "Sengketa Tanah Stasiun Tugu Yogyakarta Usai, Keraton Kembali Punya Hak Atas Sultan Ground", Kabarsleman.Com, 27 Januati 2025, tersedia pada https://sleman.pikiran-rakyat.com/diy/pr-3049006608/sengketa-tanah-stasiun-tugu-yogyakarta-usai-keraton-kembali-punya-hak-atas-sultan-ground, diakses pada tanggal 19 Mei 2025.