
Sumber: Kompas.com
Mahasiswa dan Rakyat Gugat UU TNI, DPR dan Pemerintah Anggap Tak Sah
Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) berdasarkan permohonan yang diajukan sejumlah warga negara sipil, termasuk mahasiswa, pekerja, dan ibu rumah tangga. Namun, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang berlangsung akhir Mei lalu, kuasa hukum pemerintah dan DPR menyebut para pemohon tidak memiliki legal standing, karena dianggap bukan bagian dari institusi yang terdampak langsung oleh UU TNI.
Pernyataan itu sontak menuai kritik luas. Dikutip dari Kompas.com, para ahli hukum tata negara menilai bahwa alasan tersebut mengabaikan prinsip partisipasi publik dalam negara demokratis. Hakim MK Arief Hidayat bahkan menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh para pemuda ini merupakan bentuk kesadaran hukum yang mencerminkan semangat demokrasi. “Kesadaran hukum seperti ini bukan kelemahan, tapi kekuatan demokrasi,” ujar Arief dalam sidang terbuka.
Permohonan uji materi ini dipicu oleh kekhawatiran masyarakat sipil terhadap potensi perluasan kewenangan militer di ruang sipil. Dikutip dari Tempo.co, pemohon menilai sejumlah pasal dalam UU TNI berpotensi membuka celah bagi keterlibatan militer dalam urusan sipil tanpa kontrol yang memadai, termasuk melalui operasi militer selain perang (OMSP) dan penempatan perwira aktif di jabatan sipil. Pemohon mendalilkan bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil turut menyuarakan penolakan terhadap pelemahan demokrasi lewat dominasi militer dalam kebijakan publik. Dalam keterangan tertulisnya, YLBHI menegaskan bahwa UU TNI harus dibatasi secara ketat agar tidak digunakan sebagai alat politik dan tidak mengebiri hak-hak sipil. “Demokrasi tidak akan tumbuh dalam bayang-bayang senjata,” tegas Ketua YLBHI Muhammad Isnur, dikutip dari Detik.com. Koalisi masyarakat sipil juga menyoroti sejarah gelap intervensi militer dalam kehidupan sipil di masa Orde Baru sebagai alasan mendasar untuk mengawal UU ini secara kritis.
Sementara itu, mahasiswa dari berbagai kampus seperti UGM, UI, dan UNPAD menggelar aksi simbolik di depan Gedung MK pada awal Juni lalu. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Sipil Berhak Koreksi Militer” dan “Demokrasi Bukan Militerisme.” Dalam orasinya, mereka menolak pernyataan DPR dan pemerintah yang mendiskreditkan partisipasi publik. “Kami tidak hanya punya hak untuk memilih, tapi juga mengawal hukum. Jangan kebiri demokrasi hanya karena kami rakyat biasa,” ujar salah satu orator dari Koalisi Pemuda Demokratis.
Kasus ini menjadi cermin penting bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Ketika warga negara yang menggunakan hak konstitusionalnya dianggap tidak punya kedudukan hukum hanya karena status sosial atau profesi mereka, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar undang-undang, tetapi masa depan keterbukaan hukum di negeri ini.
Penulis: Aisya
Editor : Windi Judithia
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Ribuan Ojol Demo Serentak, Tuntut Keadilan Tarif d...
20 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Perdagangan Digital Melaju Cepat, Desakan RUU Perl...
28 April 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Perlindungan bagi Korban Kekerasan Seksual Menggun...
13 May 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →